Minggu, 08 Januari 2017

HUKUM MALPRAKTIK




"HUKUM MALPRAKTIK DI INDONESIA"


BAB I
PENDAHULUAN

A.                 Latar Belakang
Kesehatan memiliki arti yang sangat penting bagi setiap orang. Dengan kesehatan orang dapat berpikir dengan baik dan dapat melakukan aktivitas secara optimal, sehingga dapat pula menghasilkan karya-karya yang diinginkan. Oleh karena itu, setiap orang akan selalu berusaha dalam kondisi yang sehat. Ketika kesehatan seseorang terganggu, mereka akan melakukan berbagai cara untuk sesegera mungkin dapat sehat kembali. Salah satunya adalah dengan cara berobat pada sarana-sarana pelayanan kesehatan yang tersedia. Tetapi, upaya penyembuhan tersebut tidak akan terwujud jika tidak didukung dengan pelayanan yang baik pula dari suatu sarana pelayanan kesehatan, dan kriteria pelayanan kesehatan yang baik, tidak cukup ditandai dengan terlibatnya banyak tenaga ahli atau yang hanya memungut biaya murah, melainkan harus didasari dengan suatu sistem pelayanan medis yang baik pula dari sarana pelayanan kesehatan tersebut. Salah satunya adalah dengan mencatat segala hal tentang riwayat penyakit pasien, dimulai ketika pasien datang, hingga akhir tahap pengobatan di suatu sarana pelayanan kesehatan. Dalam dunia kesehatan, catatan-catatan tersebut dikenal dengan istilah rekam medis.
Rekam medis berisi antara lain tentang identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan serta tindakan dan pelayanan lain yang diberikan oleh dokter kepada seorang pasien selama menjalani perawatan di suatu sarana pelayanan kesehatan.
Di setiap sarana pelayanan kesehatan, rekam medis harus ada untuk mempertahankan kualitas pelayanan profesional yang tinggi, untuk melengkapi kebutuhan informasi sebagai pendahuluan mengenai informed concent locum tenens, untuk kepentingan dokter pengganti yang meneruskan perawatan pasien, untuk referensi masa datang, serta diperlukan karena adanya hak untuk melihat dari pasien.
Dalam pelaksanaan pelayanan medis kepada pasien, informasi memegang peranan yang sangat penting. Informasi tidak hanya penting bagi pasien, tetapi juga bagi dokter agar dapat menyusun dan menyampaikan informasi kedokteran yang benar kepada pasien demi kepentingan pasien itu sendiri. Peranan informasi dalam hubungan pelayanan kesehatan mengandung arti bahwa pentingnya peranan informasi harus dilihat dalam hubungannya dengan kewajiban pasien selaku individu yang membutuhkan pertolongan untuk mengatasi keluhan mengenai kesehatannya, di samping dalam hubungannya dengan kewajiban dokter selaku profesional di bidang kesehatan. Agar pelayanan medis dapat diberikan secara optimal, maka diperlukan informasi yang benar dari pasien tersebut agar dapat memudahkan bagi dokter dalam diagnosis, terapi, dan tahapan lain yang diperlukan oleh pasien. Dengan kata lain, penyampaian informasi dari pasien tentang penyakitnya dapat mempengaruhi perawatan pasien.
Malpraktik tidak hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan saja, melainkan kaum profesional dalam bidang lainnya yang menjalankan praktiknya secara buruk, misalnya profesi pengacara, profesi notaris. Hanya saja istilah malpraktik pada umumnya lebih sering digunakan di kalangan profesi di bidang kesehatan/ kedokteran. Begitu pula dengan istilah malpraktik yang digunakan dalam skripsi ini juga dititik beratkan pada malpraktek bidang kedokteran, karena inti yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah mengenai kedudukan rekam medis dalam pembuktian perkara pidana. Agar lebih terfokus serta tetap memiliki keterkaitan dengan rekam medis, maka dilakukan pengkhususan terhadap jenis perbuatan pidana yang dimaksud dalam tema skripsi ini, yaitu malpraktik di dalam bidang kedokteran.
Berkenaan dengan kerugian yang sering diderita pasien akibat kesalahan (kesengajaan/ kealpaan) para tenaga kesehatan karena tidak menjalankan praktik sesuai dengan standar profesinya, saat ini masyarakat telah memenuhi pengetahuan serta kesadaran yang cukup terhadap hukum yang berlaku, sehingga ketika pelayanan kesehatan yang mereka terima dirasa kurang optimal bahkan menimbulkan kondisi yang tidak diinginkan atau dianggap telah terjadi malpraktik kedokteran, masyarakat akan melakukan gugatan baik kepada sarana pelayanan kesehatan maupun kepada tenaga kesehatan yang bekerja di dalamnya atas kerugian yang mereka derita.
Demi mewujudkan keadilan, memberikan perlindungan, serta kepastian hukum bagi semua pihak, dugaan kasus malpraktik kedokteran ini harus diproses secara hukum. Tentunya proses ini tidak mutlak menjamin akan mengabulkan tuntutan dari pihak pasien atau keluarganya secara penuh, atau sebaliknya membebaskan pihak tenaga kesehatan maupun sarana pelayanan kesehatan yang dalam hal ini sebagai pihak tergugat, dari segala tuntutan hukum. Pemeriksaan terhadap dugaan kasus malpraktek kedokteran ini harus dilakukan melalui tahapan-tahapan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, serta pemeriksaan di sidang pengadilan untuk membuktikan ada/ tidaknya kesalahan (kesengajaan/ kealpaan) tenaga kesehatan maupun sarana pelayanan kesehatan tempat mereka bekerja.
Sorotan masyarakat yang cukup tajam atas jasa pelayanan kesehatan oleh tenaga kesehatan, khususnya dengan terjadinya berbagai kasus yang menyebabkan ketidakpuasan masyarakat memunculkan isu adanya dugaan malpraktik medis yang secara tidak langsung dikaji dari aspek hukum dalam pelayanan kesehatan, karena penyebab dugaan malpraktik belum tentu disebabkan oleh adanya kesalahan/kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan, khususnya dokter.
Bentuk dan prosedur perlindungan terhadap kasus malpraktik yang ditinjau dari Undang-Undang Perlindungan Konsumen No.8 tahun 1999.  Peraturan tersebut mengatur tentang  pembinaan  dan  pengawasan yang  dilakukan oleh pemerintah melalui lembaga-lembaga yang dibentuk oleh pemerintah yang membidangi perlindungan konsumen, selain peran serta pemerintah, peran serta masyarakat sangat perlu dibutuhkan dalam perlindungan konsumen dalam kasus malpraktek serta penerapan hukum terhadap kasus malpraktek yang meliputi tanggung jawab hukum dan sanksinya menurut Hukum Perdata, pidana dan administrasi.
Untuk membuktikan kesalahan (kesengajaan/ kealpaan) tenaga kesehatan ataupun sarana pelayanan kesehatan tempat mereka bekerja dalam dugaan kasus malpraktek kedokteran ini, hakim di pengadilan dapat menjadikan rekam medis pasien sebagai salah satu sumber atau bukti yang dapat diteliti.

B.                 Rumusan Masalah.
Berdasarkan dari uraian dalam latar belakang di atas, dirumuskan permasalahan-permasalahan sebagai berikut :
1.         Apakah hukum kesehatan dan Malpraktik ?
2.         Kapan kelahiran Hukum Kesehatan dan Bagaimana Malpraktik dibidang Hukum ?
3.         Bagaimana Malpraktik Ditinjau Dari Segi Etika dan Hukum ?
4.         Bagaimana Aspek Hukum Malpraktik dan Rekam Medis ?
5.         Bagaimana Asumsi masyarakat terhadap Malpraktik ?
6.         Isi Ketentuan Pidana Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran ?
7.         Apa Aturan Hukum Positif  Di Indonesia Yang Berkaitan Dengan Malpraktik ?

C.       Tujuan Penulisan.
1. Menjelaskan pengertian hukum kesehatan dan pengertian Malpraktik.
2. Dapat mengetahui kapan kelahiran Hukum Kesehatan dan Malpraktik diBidang Hukum
3. Menjelaskan Malpraktik Ditinjau Dari Segi Etika dan Hukum.
4. Menjelaskan AspekMalpraktik dan Rekam Medis
5. Memahami Asumsi masyarakat terhadap Malpraktik.
6.  Memahami aturan hukum positif di indonesia yang berkaitan dengan Malpraktik.
D.        Manfaat makalah.
1. Dapat mengetahui hukum dari Malpraktik agar tidak melakukan hal yang salah.
2.  Dapat memahami aturan hukum positif di indonesia yang berkaitan dengan Malpraktik.
3. Dapat mengetahui asumsi masyarakat terhadap Malpraktik.


















BAB II
PEMBAHASAN

A.   Pengertian Hukum Kesehatan dan Malpraktik Menurut Para Ahli
1.       Pengertian  Hukum Kesehatan
Perkembangan hukum disuatu Negara tidak dapat dilepaskan dari sistem hukum yang dianut di Negara tersebut.
“Hukum dapat didefnisikan secara sederhana sebagai  sistem dari asas-asas dan aturan-aturan tentang perbuatan manusia yang ditetapkan dan diakui oleh otoritas tinggi.” (Samsi Jacobalis. 2005: 121)
Kesehatan Menurut WHO tahun 1948  “Kesehatan adalah keadaan sejahtera yang sempurna dari badan, mental, dan sosial, dan bukan hanya tidak ada penyakit atau kelemahan.” (Samsi Jacobalis. 2005: 127-128)
Sedangkan Kesehatan Menurut Undang-Undang R.I. No. 23tahun 1992 tentang kesehatan “Kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produkif secara sosial dan ekonomis.” (Samsi Jacobalis. 2005: 121)
Menurut H.J.J. Leenen (2005: 15)  : “Hukum kesehatan meliputi semua ketentuan yang langsung berhubungan dengan pemeliharaan  kesehatan dan penerapan hukum perdata, hukum pidana dan hukum administrasi dalam hubungan tersebut. Demikian pula dengan penerapan pedoman internasional, hukum kebiasaan dan juris prudensi yang berkaitan dengan pemeliharaan kesehatan, hukum otonom, ilmu, literature menjadi sumber hukum kesehatan.” Sedangkan Anggaran Dasar PERHUKI (Perhimpunan Hukum Kesehatan Indonesia) menyebutkan “kesehatan adalah : Semua ketentuan hukum yang berhubungan langsung dengan pemeliharaan dan pelayanan kesehatan dan penerapan hak dan kewajiban baik perseorangan dan segenap lapisan masyarakat sebagai penerima pelayanan kesehatan maupun dari pihak penyelenggaraan pelayanan kesehatan salam segala aspek organisasi, sarana, pedoman-pedoman medik, ilmu pengetahuan kesehatan dan hukum serta sumber-sumber hukum lainya, sedangkan yang dimaksud dengan hukum kedokteran adalah bagian dari hukum kesehatan yang menyangkut pelayanan medis.” (Samsi Jacobalis. 2005: 134-135)
Hukum kesehatan adalah  keseluruhan aturan hukum : 1.)  Yang langsung berhubungan dengan pemeliharaan kesehatan. 2.)  Yang merupakan penerapan hukum perdata, hukum pidana dan hukum administrasi negara dalam kaitan dengan pemelihraan kesehatan dan, 3.) Yang besumber dari hukum otonom yang berlaku unuk kalangantertentu saja,hukum kebiasaan, hukum yurisprudensi, aturan-aturan internasionl, ilmu pengetahuan dan literatur yang ada kaitannya dengan pemelihraan kesehatan. (Samsi Jacobalis. 2005: 134-135)

Jadi dapat ditarik kesimpulan dari beberapa pendapat para ahli bahwa Hukum Kesehatan adalah : Asas-asas yang mengatur tentang ketentuan yang berhubungan langsung dengan pemeliharaan dan pelayanan kesehatan dan penerapan hak dan kewajiban baik perseorangan dan segenap lapisan masyarakat lainnya.

2.   Pengertian Malpraktik
Secara harfiah “mal” mempunyai arti “salah” sedangkan “praktik” mempunyai arti “pelaksanaan” atau “tindakan”, sehingga Malpraktik berarti “pelaksanaan atau tindakan yang salah”. Definisi Malpraktik profesi kesehatan adalah kelalaian dari seseorang dokter atau perawat untuk mempergunakan tingkat kepandaian dan ilmu pengetahuan dalam mengobati dan merawat pasien, yang lazim dipergunakan terhadap pasien atau orang yang terluka menurut ukuran dilingkungan yang sama (Valentin v. La Society de Bienfaisance Mutuelle de Los Angelos, California, 1956: 5). Menurut M.Jusuf  Hanafiah & Amri Amir (1999: 87), “Malpraktik adalah: kelalaian seorang dokter untuk mempergunakan tingkat keterampilan dan ilmu yang lazim dipergunakan dalam mengobati pasien atau orang yang terluka menurut ukuran di lingkungan yang sama. Yang  dimaksud  kelalaian disini adalah sikap kurang hati-hati, yaitu tidak melakukan apa yang seseorang dengan sikap hati-hati melakukannya dengan wajar, tapi sebaliknya melakukan apa yang seseorang dengan sikap hati-hati tidak akan melakukannya dalam situasi tersebut. Kelalaian diartikan pula dengan melakukan tindakan kedokteran di bawah standar pelayanan medis (standar profesi dan standar prosedur operasional).

Sedangkan Menurut Dr. Bahar Azwar, Sp B Onk (2005: 1)  “Malpraktik adalah pekerjaan yang buruk atau salah (wrong doing). ia berasal dari dua kata bahasa Latin (Yunani), yaitu malus, yang berarti buruk, dan praktikos, pekerjaan.
Menurut M.Jusuf  Hanafiah & Amri Amir (......: 6),  yaitu: 1.)  Adanya unsur kesalahan/kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan dalam    menjalankan profesinya. 2.)  Adanya perbuatan yang tidak sesuai dengan standar prosedur operasional.  3.)  Adanya luka berat atau mati, yang mengakibatkan pasien cacat atau meninggal dunia. 4.)  Adanya hubungan kausal, dimana luka berat yang dialami pasien merupakan akibat dari perbuatan dokter yang tidak sesuai dengan standar pelayanan medis.  
                     
Contoh-contoh Malpraktik adalah ketika seorang dokter atau tenaga kesehatan :
a.   Meninggalkan kain kasa di dalam rahim pasien
b.   Melupakan keteter di dalam perut pasien
c.   Menunda persalinan sehingga janin meninggal di dalam kandungan ibunya
                 d.   Menjahit luka operasi dengan asal-asalan sehingga pasien terkena infeksi berat
e.   Tidak mengikuti standar profesi dan standar prosedur operasional.
Adapun pemikiran tentang  Malpraktik  itu sendiri antara lain dikemukakan oleh Kartono Mohamad (Mantan ketua IDI) :  para dokter  jangan sok kuasa dan menganggap pasien cuma perlu dicecoki obat.  Pasien jangan lagi mau diam, seharusnya pasien mempertanyakan resep, dosis dan jenis terapi kepada dokter dengan kritis. Cari pendapat kedua dari dokter lain sebagai pembanding. Ini memang agak susah karena sebagian masyarakat masih menilai posisi dokter begitu tinggi. Sedikit saja dokter melotot, mulut pasien seolah beku terkunci. Padahal dokter juga manusia yang bisa keliru dan karena itu butuh dicereweti. Sedangkan menurut Marius Widajarta, Ketua Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia (Majalah Tempo, 28 Maret 2004: 97), ”setiap minggu ada korban Malpraktik dalam berbagai tingkatan di seluruh Indonesia, dikarenakan pengawasan praktik kedokteran di negeri ini begitu longgar dan hanya bagus sebagai teori diatas  kertas”.

Untuk  membawa  kasus  Malpraktik  ke pengadilan banyak menemui kendala. Pertama, karena pengadilan kita sedang jatuh wibawa, karena pengadilan itu sendiri seakan-akan bisa dibeli. Kedua rumah sakit dan dokter dianggap mewakili pihak yang sanggup membeli pengadilan. Ketiga, para penegak hukum belum tentu memahami teknis dan prosedur dalam mengajukan perkara malapraktik ke depan pengadilan. Tak aneh bila pasien berpikir dua kali jika harus berhadapan dengan rumah sakit yang bermodal raksasa.
Berdamai memang pilihan mudah bagi korban atau dokter, korban mendapatkan ganti rugi berupa materi, sementara dokter dan rumah sakit tak perlu risau dengan publikasi bernada miring di media massa. Tapi jalan damai inilah yang membuat malapraktik sulit untuk dibawa ke pengadilan, karena selama korban cenderung memilih jalan damai, kita tidak akan pernah belajar menangani persoalan Malpraktik sampai tuntas.
Akan tetapi jalan damai tidak cukup membuat para dokter jera dalam melakukan kesalahan, karena cukup dengan uang puluhan atau ratusan juta rupiah, urusan bisa selesai. Uang sejumlah itu bukanlah masalah besar bagi dokter atau rumah sakit, lain halnya bila kasusnya dibawa ke pengadilan, dokter dan rumah sakit akan menanggung dampak serius bila divonis bersalah.
Dampaknya antara lain, dokter dan rumah sakit akan kehilangan kepercayaan dari masyarakat, yang menyebabkan dokter dan pengelola rumah sakit akan mengalami penurunan pendapatan yang sangat drastis. Hal itu dikarenakan masyarakat jarang atau bahkan tidak mau lagi berobat ke tempat praktik dokter dan rumah sakit yang mempunyai kasus Malpraktik. Hasilnya, mereka tentu bakal berhitung panjang sebelum melakukan kesalahan.
Menurut Henry campell black (......: 8) memberikan definisi Malpraktik sebagai berikut: Malpractice is professional misconduct on the part of a professional person such as physician, dentist, vetenarian, malpractice may be the result of skill or fidelity in the performance of professional duties, intentionally wrong doing or illegal or unethical practice. (Malpraktik adalah kesalahan dalam menjalankan profesi sebagai dokter, dokter gigi, dokter hewan. Malpraktik adalah akibat dari sikap tidak peduli, kelalaian, atau kurang keterampilan, kurang hati-hati dalam melaksanakan tugas profesi, berupa pelanggaran yang disengaja, pelanggaran hukum atau pelanggaran etika). Sedangkan Menurut veronica komalawati menyebutkan Malpraktik pada hakekatnya adalah kesalahan dalam menjalankan profesi yang timbul akibat adanya kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan dokter. Selanjutnya Menurut Herman Hediati Koeswadji menjelaskan bahwa Malpraktik secara hafiah diartikan sebagai bad practice atau praktik buruk yang berkaitan dengan penerapan ilmu dan teknologi medik dalam menjalankan profesi medik yang mengandung ciri-ciri khusus.  

Pasal 11 UU 6 /1963 tentang kesehatan menyatakan: dengan tidak mengurangi ketentuan dalam KUHP dan UU lain terhadap tenaga kesehatan dapat dilakukan tindakan administrative dalam hal sebagai berikut:
 a.      Melalaikan kewajiban
 b.      Melakukan suatu hal yang tidak boleh diperbuat oleh seorang tenaga kerja kesehatan mengingat sumpah jabatan maupun mengingat sumpah sebagai tenaga kesehatan.
 c.      Melanggar ketentuan menurut undang-undang ini.
Pengertian Malpraktik medik menurut WMA (World Medical Associations) adalah Involves the physician’s failure to conform to the standard of care for treatment of the patient’s condition, or a lack of skill, or negligence in providing care to the patient, which is the direct cause of an injury to the patient (adanya kegagalan dokter untuk menerapkan standar pelayanan terapi terhadap pasien, atau kurangnya keahlian, atau mengabaikan perawatan pasien, yang menjadi penyebab langsung terhadap terjadinya cedera pada pasien). (Hal: 8)

Di dalam setiap profesi termasuk profesi tenaga kesehatan berlaku norma etika dan norma hukum. Oleh sebab itu apabila timbul dugaan adanya kesalahan praktik sudah seharusnyalah diukur atau dilihat dari sudut pandang kedua norma tersebut. Kesalahan dari sudut pandang etika disebut ethical malapractice dan dari sudut pandang hukum disebut yuridical malapractice. Hal ini perlu difahami mengingat dalam profesi tenaga perawatan berlaku norma etika dan norma hukum, sehingga apabila ada kesalahan praktik perlu dilihat domain apa yang dilanggar. Karena antara etika dan hukum ada perbedaan-perbedaan yang mendasar menyangkut substansi, otoritas, tujuan dan sangsi, maka ukuran normatif yang dipakai untuk menentukan adanya ethical malapractice atau yuridical malpractice dengan sendirinya juga berbeda.
Yang  jelas tidak setiap ethical malpractice merupakan yuridical malpractice akan tetapi semua bentuk yuridical malpractice pasti merupakan ethical malpractice (Lord Chief Justice, 1893).
Jadi dapat ditarik kesimpulan bahwa Malpraktik adalah : kelalaian  atau kesalahan pada saat  menjalankan tugas seorang dokter dalam memberikan pelayanan terhadap pasiennya dan kelalaian ini dapat disengaja maupun tidak disengaja.

B.                 Kelahiran Hukum Kesehatan dan Malpraktik Dibidang Hukum
Ø  Kelahiran Hukum Kesehatan
Pengaturan hukum tentang pemeliharaan kesehatan sebenarnya bukan hal baru.
Raja Hammurabi dari Babylona (lebih dari pada 20 abad sebelum Masehi) telah mentusun kodefikasi hukum yang atara lain juga mengatur tentang dokter dalam menjalanan profesinya. Seprang dokter di zaman itu yang melakukan kesalahan berat dan merugikan pasiennya dapat diancam dengan pemotongan jari-jarinya.
Kongres internasional pertama tentang Hukum Kedokteran (Medical Law) diselenggarakan tahun 1967 di Kent, Belgia. Kongres ini dihadiri juga oleh beberapa orang dokter dan ahli senior dari indonesia. Pulang dari kongres itu, mereka adalah orang-orang pertama yang menyebarkan informasi tentang perkembangan hukum kesehatan di negara kita. Pada tahun 1992 diundangkan UU No. 23/1992 tentang kesehatan yang sudah akan direvisi, sedangkan sampai sekarang baru diluarkan sejumlah kecil dari 29 peraturan pemerintah yang diamanatkan UU itu. Undang-undang yang dikeluarkan setelah undang-undang No. 23/1992 adalah : UU No. 5/1997 tentang Psikotropika, Undang-undang No. 22/1997 tentang Narkotika, Undang-undang No. 29/2004 tentang praktik  kedokteran, dan UU No. 40/2004 tentang Sistem      Jaminan Sosial Nasional (SJSN). UU No. 29/2004 tentang praktik kedokteran ini yang disahkan dan diundang-undangkan pada tanggal 6 Oktober 2004 adalah salah satu UU yang ditandatangani oleh Presiden Megawati Soekarno putri pada hari-hari terakhir masa kepresidenan beliau. UU ini mulai berlaku satu tahun setelah tanggal diundang-undangkan (pasal 88), jadi pda tanggal 6Oktober 2005. (Samsi Jacobalis. 2005: 131-140)



Ø  Malpraktik Dibidang Hukum
Untuk Malpraktik  hukum atau yuridical malapractice dibagi dalam 3 kategori  sesuai bidang hukum yang dilanggar, yakni Criminal malpractice, Civil malpractice dan Administrative malpractice.
1. Criminal malpractice
Perbuatan seseorang dapat dimasukkan dalam kategori criminal malpractice manakala perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik pidana yakni :
a.  Perbuatan tersebut (positive act maupun negative act) merupakan perbuatan tercela.
b.  Dilakukan dengan sikap batin yang salah (mens rea) yang berupa kesengajaan (intensional), kecerobohan (reklessness) atau kealpaan (negligence).
 Criminal malpractice yang bersifat sengaja (intensional) misalnya melakukan euthanasia (pasal 344 KUHP), membuka rahasia jabatan (pasal 332 KUHP), membuat surat keterangan palsu (pasal 263 KUHP), melakukan aborsi tanpa indikasi medis pasal 299 KUHP).
 Criminal malpractice yang bersifat ceroboh (recklessness) misalnya melakukan tindakan medis tanpa persetujuan pasien informed consent.
                 Criminal malpractice yang bersifat negligence (lalai) misalnya kurang hati-hati mengakibatkan luka, cacat atau meninggalnya pasien, ketinggalan klem dalam perut pasien saat melakukan operasi.
Pertanggung jawaban didepan hukum pada criminal malapractice adalah bersifat individual/personal dan oleh sebab itu tidak dapat dialihkan kepada orang lain atau kepada rumah sakit/sarana kesehatan.
2. Civil malpractice
 Seorang tenaga kesehatan akan disebut melakukan civil malpractice apabila tidak melaksanakan kewajiban atau tidak memberikan prestasinya sebagaimana yang telah disepakati (ingkar janji). Tindakan tenaga kesehatan yang dapat dikategorikan civil malapractice antara lain:
a. Tidak melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan.
b.  Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi terlambat melakukannya.
c.  Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi tidak sempurna.
d. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya tidak seharusnya dilakukan.
 Pertanggung jawaban civil malpractice dapat bersifat individual atau korporasi dan dapat pula dialihkan pihak lain berdasarkan principle of vicarius liability.Dengan prinsip ini maka rumah sakit/sarana kesehatan dapat bertanggung gugat atas kesalahan yang dilakukan karyawannya (tenaga kesehatan) selama tenaga kesehatan tersebut dalam rangka melaksanakan tugas kewajibannya.
·         Administrative malpractice
                     Dokter dikatakan telah melakukan administrative malpractice manakala tenaga perawatan tersebut telah melanggar hukum administrasi. Perlu diketahui bahwa dalam melakukan police power, pemerintah mempunyai kewenangan menerbitkan berbagai ketentuan di bidang kesehatan, misalnya tentang persyaratan bagi tenaga perawatan untuk menjalankan profesinya (Surat Ijin Kerja, Surat Ijin Praktik), batas kewenangan serta kewajiban tenaga perawatan. Apabila aturan tersebut dilanggar maka tenaga kesehatan yang bersangkutan dapat dipersalahkan melanggar hokum administrasi.
·         Pembuktian Malpraktik Dibidang Pelayanan Kesehatan
Dalam kasus atau gugatan adanya civil malapractice embuktianya dapat dilakukan dengan dua cara yakni :
1.      Cara langsung                       
Oleh Taylor membuktikan adanya kelalaian memakai tolok ukur adanya 4 D yakni :
a. Duty (kewajiban)
Dalam hubungan perjanjian tenaga dokter dengan pasien, dokter haruslah bertindak berdasarkan :
1)      Adanya indikasi medis
2)      Bertindak secara hati-hati dan teliti
3)      Bekerja sesuai standar profesi
4)      Sudah ada informed consent.
b. Dereliction of Duty (penyimpangan dari kewajiban)
Jika seorang dokter melakukan tindakan menyimpang dari apa yang seharusnya atau tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan menurut standard profesinya, maka dokter dapat dipersalahkan.
c. Direct Cause (penyebab langsung)
d. Damage (kerugian)
Dokter untuk dapat dipersalahkan haruslah ada hubungan kausal (langsung) antara penyebab (causal) dan kerugian (damage) yang diderita oleh karenanya dan tidak ada peristiwa atau tindakan sela diantaranya., dan hal ini haruslah dibuktikan dengan jelas. Hasil (outcome) negatif tidak dapat sebagai dasar menyalahkan dokter. Sebagai adagium dalam ilmu pengetahuan hukum, maka pembuktiannya adanya kesalahan dibebankan/harus diberikan oleh si penggugat (pasien).
2.       Cara tidak langsung
 Cara tidak langsung merupakan cara pembuktian yang mudah bagi pasien, yakni dengan mengajukan fakta-fakta yang diderita olehnya sebagai hasil layanan perawatan (doktrin res ipsa loquitur). Doktrin res ipsa loquitur dapat diterapkan apabila fakta-fakta yang ada memenuhi kriteria:
a.       Fakta tidak mungkin ada/terjadi apabila dokter tidak lalai
b.      Fakta itu terjadi memang berada dalam tanggung jawab dokter
c.       Fakta itu terjadi tanpa ada kontribusi dari pasien dengan perkataan lain tidak ada contributory negligence.
Di dalam transaksi teraputik ada beberapa macam tanggung gugat, antara lain:
1. Contractual liability
Tanggung gugat ini timbul sebagai akibat tidak dipenuhinya kewajiban dari hubungan kontraktual yang sudah disepakati. Di lapangan pengobatan, kewajiban yang harus dilaksanakan adalah daya upaya maksimal, bukan keberhasilan, karena health care provider baik tenaga kesehatan maupun rumah sakit hanya bertanggung jawab atas pelayanan kesehatan yang tidak sesuai standar profesi/standar pelayanan.
2. Vicarius liability
Vicarius liability atau respondeat superior ialah tanggung gugat yang timbul atas kesalahan yang dibuat oleh tenaga kesehatan yang ada dalam tanggung jawabnya (sub ordinate), misalnya rumah sakit akan bertanggung gugat atas kerugian pasien yang diakibatkan kelalaian perawat sebagai karyawannya.
3. Liability in tort                                                               
Liability in tort adalah tanggung gugat atas perbuatan melawan hokum (onrechtmatige daad). Perbuatan melawan hukum tidak terbatas haya perbuatan yang melawan hukum, kewajiban hukum baik terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain, akan tetapi termasuk juga yang berlawanan dengan kesusilaan atau berlawanan dengan ketelitian yang patut dilakukan dalam pergaulan hidup terhadap orang lain atau benda orang lain (Hogeraad 31 Januari 1919).

C.                Malpraktik ditinjau dari Segi Etika dan Hukum
Masalah dugaan malpraktik medik, akhir-akhir ini, sering diberitakan di media masa. Namun, sampai kini, belum ada yang tuntas penyelesaiannya. Tadinya masyarakat berharap bahwa UU Praktik Kedokteran itu akan juga mengatur masalah Malpraktik medik. Namun, materinya ternyata hanya mengatur masalah disiplin, bersifat intern. Walaupun setiap orang dapat mengajukan ke Majelis Disiplin Kedokteran, tetapi hanya yang menyangkut segi disiplin saja. Untuk segi hukumnya, undang-undang merujuk ke KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) bila terjadi tindak pidana. Namun, kalau sampai diajukan ke Pengadilan tetap terkatung-katung tidak ada kunjung penyelesaiannya, lantas apa gunanya? Di negara yang menganut sistem hukum Anglo-Saxon, masalah dugaan Malpraktik medik ini sudah ada ketentuan di dalam common law dan menjadi yurisprudensi. Walaupun Indonesia berdasarkan hukum tertulis, seharusnya tetap terbuka putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap menjadi yurisprudensi.
Dan karena masyarakat semakin sadar terhadap masalah pelayanan kesehatan, DPR yang baru harus dapat menangkap kondisi tersebut dengan berinisiatif membentuk Undang-Undang (UU) tentang Malpraktek Medik, sebagai pelengkap UU Praktik Kedokteran.
              Bagaimana materinya, kita bisa belajar dari negara-negara yang telah memiliki peraturan tentang hal tersebut. Harapan masyarakat, ketika mereka merasa dirugikan akibat tindakan medis, landasan hukumnya jelas. Sedangkan di pihak para medis, setiap tindakannya tidak perlu lagi dipolemikan sepanjang sesuai undang-undang.
Etika punya arti yang berbeda-beda jika dilihat dari sudut pandang pengguna yang berbeda dari istilah itu. Bagi ahli falsafah, etika adalah ilmu atau kajian formal tentang moralitas. Moralitas adalah ha-hal yang menyangkut moral, dan moral adalah sistem tentang motivasi, perilaku dan perbuatan manusia yang dianggap baik atau buruk. Franz Magnis Suseno menyebut etika sebagai ilmu yang mencari orientasi bagi usaha manusia untuk menjawab pertanyaan yang amat fundamental : bagaimana saya harus hidup dan bertindak ? Peter Singer, filusf kontemporer dari Australia menilai kata etika dan moralitas sama artinya, karena itu dalam buku-bukunya ia menggunakan keduanya secara tertukar-tukar. Bagi sosiolog, etika adalah adat, kebiasaan dan perilaku orang-orang dari lingkungan budaya tertentu. Bagi praktisi profesional termasuk dokter dan tenaga kesehatan lainnya etika berarti kewajiban dan tanggung jawab memenuhi harapan (ekspekatasi) profesi dan amsyarakat, serta bertindak dengan cara-cara yang profesional, etika adalah salah satu kaidah yang menjaga terjalinnya interaksi antara pemberi dan penerima jasa profesi secara wajar, jujur, adil, profesional dan terhormat.
Bagi eksekutif puncak rumah sakit, etika seharusnya berarti kewajiban dan tanggung jawab khusus terhadap pasien dan klien lain, terhadap organisasi dan staff, terhadap diri sendiri dan profesi, terhadap pemrintah dan pada tingkat akhir walaupun tidak langsung terhadap masyarakat. Kriteria wajar, jujur, adil, profesional dan terhormat tentu berlaku juga untuk eksekutif lain di rumah sakit.
Bagi asosiasi profesi, etika adalah kesepakatan bersamadan pedoman untuk diterapkan dan dipatuhi semua anggota asosiasi tentang apa yang dinilai baik dan buruk dalam pelaksanaan dan pelayanan profesi itu.
Malpraktik meliputi pelanggaran kontrak ( breach of contract), perbuatan yang disengaja (intentional tort), dan kelalaian (negligence). Kelalaian lebih mengarah pada ketidaksengajaan (culpa), sembrono dan kurang teliti. Kelalaian bukanlah suatu pelanggaran hukum atau kejahatan, selama tidak sampai membawa kerugian atau cedera kepada orang lain dan orang itu dapat menerimanya. Ini berdasarkan prinsip hukum “de minimis noncurat lex”, hukum tidak mencampuri hal-hal yang dianggap sepele (hukumonliine.com, 17 April 2004).
Ketidakter cantuman istilah dan definisi menyeluruh tentang malpraktik dalam hukum positif di Indonesia, ambiguitas kelalaian medik dan malapraktik yang berlarut-larut, hingga referensi-referensi tentang malpraktik yang masih dominan diadopsi dari luar negeri yang relevansinya dengan kondisi di Indonesia masih dipertanyakan, semuanya merupakan Pe-Er besar bagi pemerintah. Barangkali inovasi cerdas pemerintah guna menangani kasus Malpraktik dan sengketa medik adalah lahirnya RUU Praktik Kedokteran. Akan tetapi, benarkah demikian? Dalam beberapa pasal, RUU Praktik Kedokteran memang memberikan kepastian hukum bagi dokter sekaligus perlindungan bagi pasien.
Secara substansial, RUU yang terdiri dari 182 pasal ini memuat pasal-pasal yang implisit dengan teori-teori pembelaan dokter yang umumnya digunakan dalam peradilan. RUU Praktik Kedokteran memungkinkan sebuah sistem untuk meregulasi pelayanan medis yang terstandardisasi dan  terkualifikasi sehingga probabilitas terjadinya malapratik dapat dieliminasi seminimal mungkin. Dengan dicantumkannya peraturan pidana dan perdata serta peradilan profesi tenaga medis, harapan perlindungan terhadap pasien dapat terealisasi.

D.                Aspek Hukum Malpraktik dan Rekam Medis
Ø Aspek Hukum Malpraktik
Hukum itu mempunyai 3 pengertian, sebagai sarana mencapai keadilan, yang kedua sebagai pengaturan dari penguasa yang mengatur perbuatan apa yang boleh dilakukan, dilarang, siapa yang melakukan dan sanksi apa yang akan dijatuhkan (hukum objektif). Dan yang ketiga hukum itu juga merupakan hak.Oleh karenanya penegakan hukum bukan hanya untuk medapatkan keadilan tapi juga hak bagi masyarakat (korban).
Sehubungan dengan hal ini, Adami Chazawi juga menilai tidak semua Malpraktik medik masuk dalam  ranah  hukum  pidana. Ada 3 syarat yang harus terpenuhi, yaitu pertama sikap bathin dokter (dalam hal ini ada kesengajaan/dolus atau culpa), yang kedua syarat dalam perlakuan medis yang meliputi perlakuan medis yang menyimpang dari standar tenaga medis, standar prosedur operasional, atau mengandung sifat melawan hukum oleh berbagai sebab antara lain tanpa STR atau SIP, tidak sesuai kebutuhan medis pasien. Sedangkan syarat ketiga untuk dapat menempatkan malpraktik medik dengan hukum pidana adalah syarat akibat, yang berupa timbulnya kerugian bagi kesehatan tubuh yaitu luka-luka (pasal 90 KUHP) atau kehilangan nyawa pasien sehingga menjadi unsure tindak pidana. Selama ini dalam praktek tindak pidana yang dikaitkan dengan dugaan malapraktik medik sangat terbatas. Untuk malpraktik medik yang dilakukan dengan sikap bathin culpa hanya 2 pasal yang biasa diterapkan yaitu Pasal 359 (jika mengakibatkan kematian korban) dan Pasal 360 (jika korban luka berat).
Pada tindak pidana aborsi criminalis (Pasal 347 dan 348 KUHP). Hampir tidak pernah jaksa menerapkan pasal penganiyaan (pasal 351-355 KUHP) untuk Malpraktik medik. Dalam setiap tindak pidana pasti terdapat unsure sifat melawan hukum baik yang dicantumkan dengan tegas ataupun tidak. Secara umum sifat melawan hukum malapraktik medik terletak pada dilanggarnya kepercayaan pasien dalam kontrak teurapetik tadi. Dari sudut hukum perdata, perlakuan medis oleh dokter didasari oleh suatu ikatan atau hubungan inspanings verbintenis (perikatan usaha), berupa usaha untuk melakukan pengobatan sebaik-baiknya sesuai dengan standar profesi, standar prosedur operasional, kebiasaan umum yang wajar dalam dunia kedokteran tapi juga memperhatikan kesusilaan dan kepatutan.Perlakuan yang tidak benar akan menjadikan suatu pelanggaran kewajinban (wan prestasi).
Ada perbedaan akibat kerugian oleh Malpraktik perdata dengan Malpraktik pidana. Kerugian dalam malpraktrk perdata lebih luas dari akibat Malpraktik pidana. Akibat Malpraktik perdata termasuk perbuatan melawan hukum terdiri atas kerugian materil dan idiil, bentuk kerugian ini tidak dicantumkan secara khusus dalam UU. Berbeda dengan akibat malpraktik pidana, akibat yang dimaksud harus sesuai dengan akibat yang menjadi unsur pasal tersebut. Malpraktik kedokteran hanya terjadi pada tindak pidana materil (yang melarang akibat yang timbul,dimana akibat menjadi syarat selesainya tindak pidana). Dalam hubungannya dengan malpraktik medik pidana, kematian,luka berat, rasa sakit atau luka yang mendatangkan penyakit atau yang menghambat tugas dan matapencaharian merupakan unsure tindak pidana.
Jika dokter hanya melakukan tindakan yang bertentangan dengan etik (penggantian kerugian karena kelalaian maka penggugat harus dapat membuktikan adanya suatu kewajibanbagi dokter terhadap pasien, dokter telah melanggar standar pelayananan medik yang lazim dipergunakan, penggugat telah menderita kerugian yang dapat dimintakan ganti ruginya. Terkadang penggugat tidak perlu membuktikan adanya kelalaian tergugat. Dalam hukum dikenal istilah Res Ipsa Loquitur (the things speaks for itself), misalnya dalam hal terdapatnya kain kasa yang tertinggal di rongga perut pasien sehingga menimbulkan komplikasi pasca bedah. Dalam hal ini dokterlah yang harus membuktikan tidak adanya kelalain pada dirinya.
Ø Rekam Medis Kedokteran
Setiap dokter/dokter gigi dalam menjalankan praktik wajib membuat rekam medis {pasal 46, ayat (1)}. Rekam medis harus segera dilengkapi setelah pasien selesai menerima pelayanan kesehatan {pasal 46, ayat (2)}. Setiap rekam medis harus dibubuhi nama, waktu, dan tanda tangan petugas yang memberikan pelayanan atau tindakalan {pasal 46, ayat (3)}. Dokumen rekam medis merupakan milik dokter, dokter gigi, atau sarana pelayanan kesehatan, sedangkan isi rekam medis merupakan milik pasien {pasal 47, ayat (1)}. Rekam medis harus disimpan dan dijaga kerahasiaannya oleh dokter/dokter gigi dan pimpinan sarana pelayanan kesehatan {pasal 47, ayat (2)}. Ketentuan mengenai rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peratura Menteri {pasal 47, ayat (3)}.  (Samsi Jacobalis. 2005: 148)

E.                 Asumsi masyarakat terhadap Malpraktik
Maraknya Malpraktik di Indonesia membuat masyarakat tidak percaya lagi pada pelayanan kesehatan di Indonesia. Ironisnya lagi, pihak kesehatan pun khawatir kalau para tenaga medis Indonesia tidak berani lagi melakukan tindakan medis karena takut berhadapan dengan hukum. Lagi-lagi hal ini disebabkan karena kurangnya komunikasi yang baik antara tenaga medis dan pasien. Tidak jarang seorang tenaga medis tidak memberitahukan sebab dan akibat suatu tindakan medis. Pasien pun enggan berkomunikasi dengan tenaga medis mengenai penyakitnya. Oleh karena itu, Departemen Kesehatan perlu mengadakan penyuluhan atau sosialisasi kepada masyarakat tentang bagaimana kinerja seorang tenaga medis.
Sekarang ini tuntutan professional terhadap profesi ini makin tinggi. Berita yang menyudutkan serta tudingan bahwa dokter telah melakukan kesalahan dibidang medis bermunculan. Di Negara-negara maju yang  lebih dulu mengenal istilah malpraktik medis ini ternyata tuntutan terhadap tenaga medis yang melakukan ketidaklayakan dalam praktik juga tidak surut. Biasanya yang menjadi sasaran terbesar adalah dokter spesialis bedah (ortopedi, plastic dan syaraf), spesialis anestesi serta spesialis kebidanan dan penyakit kandungan. Di Indonesia, fenomena ketidakpuasan pasien pada kinerja tenaga medis juga berkembang. Pada awal januari tahun 2007 publik dikejutkan oleh demontrasi yang dilakukan oleh para korban dugaan malapraktik medis ke Polda Metro Jaya dengan tuntutan agar polisi dapat mengusut terus sampai tuntas setiap kasus dugaan malpraktek yang pernah dilaporkan masyarakat.
Tuntutan yang demikian dari masyarakat dapat dipahami mengingat sangat sedikit jumlah kasus Malpraktik  medik yang diselesaikan di pengadilan. Apakah secara hukum perdata, hukum pidana atau dengan hukum administrasi. Padahal media massa nasional juga daerah berkali-kali melaporkan adanya dugaan malapraktik medik yang dilakukan dokter tapi sering tidak berujung pada peyelesaian melalui sistem peradilan.
Salah satu dampak adanya Malpraktik pada zaman sekarang ini (globalisasi)
Saat ini kita hidup di jaman globalisasi, jaman yang penuh tantangan, jaman yang penuh persaingan dimana terbukanya pintu bagi produk-produk asing maupun tenaga kerja asing ke Indonesia. Kalau kita kaitkan dengan dunia medis, ada manfaat yang didapat, tetapi banyak pula kerugian yang ditimbulkan. Manfaatnya adalah seiring mesuknya jaman globalisasi, maka tidak menutup kemungkinan akan kehadiran peralatan pelayanan kesehatan yang canggih. Hal ini memberikan peluang keberhasilan yang lebih besar dalam kesembuhan pasien. Akan tetapi, banyak juga kerugian yang ditimbulkan. Masuknya peralatan canggih tersebut memerlukan sumber daya manusia yang dapat mengoperasikannya serta memperbaikinya kalau rusak. Yang menjadi sorotan disini adalah dalam hal pengoperasiannya. Coba kita analogikan terlebih dahulu, dengan masuknya peralatan-peralatan canggih tersebut, maka mutu pelayanan kesehatan harus ditingkatkan. Namun, yang terjadi saat ini adalah banyak tenaga medis yang melakukan kesalahan dalam pengoperasian peralatan canggih tersebut sehingga menimbulkan malpraktik. Jelas sekali bahwa ketergantungan pada peralatan pelayanan kesehatan ini dapat menghambat pelayanan kesehatan. Untuk menindaklanjuti masalah ini, agar tidak sampai terjadi malpraktik, perlu adanya penyuluhan kepada tenaga pelayanan kesehatan mengenai masalah ini. Kemudian, perlu adanya penyesuaian kurikulum pendidikan dengan perkembangan teknologi. Satu hal yang lebih penting lagi adalah perlu adanya kesadaran bagi para tenaga medis untuk terus belajar dan belajar agar dapat meningkatkan kemampuannya dalam penggunaan peralatan canggih ini demi mencegah terjadinya
Malpraktik.
 Hal ini dapat direalisasikan dengan adanya penyuluhan yang disebutkan tadi. Selain pembahasan dari sisi peralatan tadi, juga perlu dipikirkan masalah eksistensi dokter Indonesia dalam menghadapi globalisasi. Seperti yang disebutkan sebelumnya, di jaman globalisasi ini memberikan pintu terbuka bagi tenaga kesehatan asing untuk masuk ke Indonesia, begitu pula tenaga kesehatan Indonesia dapat bekerja diluar negeri dengan mudah. Namun, apabila tidak ada tindakan untuk mempersiapkan hal ini, dapat menimbulkan kerugian bagi tenaga kesehatan kita. Bayangkan saja, tidak menutup kemungkinan apabila seorang tenaga medis yang kurang mempersiapkan dirinya untuk berkiprah di negeri orang, dikarenakan ilmunya yang masih minim serta perbedaan kurikulum di negeri yang ia tempati, terjadilah malapraktik. Hal ini tidak saja mencoreng nama baik tenaga edis tersebut tersebut, tetapi juga nama baik dunia kesehatan Indonesia. Yang jelas, kami sangat berharap akan peran dari Pemerintah pada umumnya dan peran dari Departemen Kesehatan pada khususnya untuk mempersiapkan tenaga kesehatan Indonesia dalam menghadapi era globalisasi saat ini.

F.                 Isi  Undang-undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
Ketentuan Pidana
Ø Paragraf 4
Rahasia Kedokteran Pasal 48 (1)  Setiap dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran wajib menyimpan rahasia kedokteran.(2)  Rahasia kedokteran dapat dibuka hanya untuk kepentingan kesehatan pasien,memenuhi permintaan aparatur penegak hukum dalam rangka penegakan hukum, permintaan pasien sendiri, atau berdasarkan ketentuan  perundangundangan.(3)  Ketentuan lebih lanjut mengenai rahasia kedokteran diatur dengan Peraturan Menteri. (Prof. R. Subekti, S.H, R.Tjitrosudibio, S.H. 1992: 16)


Ø Paragraf 6
Hak dan Kewajiban Dokter atau Dokter Gigi Pasal 50 Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai hak : a.)  memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional, b.) memberikan pelayanan medis menurut standar profesi dan standar prosedur operasional, c.)  memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari pasien atau keluarganya dan d.) menerima imbalan jasa. Pasal 51 Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai kewajiban : a.)  memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien, b.) merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai keahlian atau kemampuan yang lebih baik, apabila tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan, c.)  merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia, d.) melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya dan, e.) menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran atau kedokteran gigi. (Prof. R. Subekti, S.H, R.Tjitrosudibio, S.H. 1992: 16-17)
Ø Paragraf 7
Hak dan Kewajiban Pasien Pasal 52 Pasien, dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran, mempunyai hak : a.) mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (3) b.) meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain c.) mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis d.) menolak tindakan medis dan e.) mendapatkan isi rekam medis. Pasal 53 Pasien, dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran, mempunyai kewajiban: a.) memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah kesehatannya b.) mematuhi nasihat dan petunjuk dokter atau dokter gigi c.) mematuhi ketentuan yang berlaku di sarana pelayanan kesehatan dan d.) memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima. (Prof. R. Subekti, S.H, R.Tjitrosudibio, S.H. 1992:16-17)
Ø Bagian Ketiga
Pemeriksaan Pasal 67 Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia memeriksa dan memberikan keputusan terhadap pengaduan yang berkaitan dengan disiplin dokter dan dokter gigi. Pasal 68 Apabila dalam pemeriksaan ditemukan pelanggaran etika, Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia meneruskan pengaduan pada organisasi profesi. (Prof. R. Subekti, S.H, R.Tjitrosudibio, S.H. 1992: 21)
Ø Pasal 75
1.)  Setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja melakukan praktik kedokteran  tanpa memiliki surat tanda registrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). 2.) Setiap dokter atau dokter gigi warga negara asing yang dengan sengaja melakukan  praktik kedokteran tanpa memiliki surat tanda registrasi sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). 3.) Setiap dokter atau dokter gigi warga negara asing yang dengan sengaja melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat tanda registrasi bersyarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).  Pasal 76  Setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Pasal 77 Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan identitas berupa gelar atau bentuk lain yang menimbulkan kesan bagi masyarakat seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dokter atau surat tanda registrasi dokter gigi dan/atau surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).Pasal 78 Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan alat, metode atau cara lain dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang menimbulkan kesan seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dokter atau surat tanda registrasi dokter gigi atau surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah). Pasal 79 Dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah), setiap dokter atau dokter gigi yang : a.)  dengan sengaja tidak memasang papan nama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1). b.)  dengan sengaja tidak membuat rekam medis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1) atau c.)  dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, atau huruf e. Pasal 80 1.) Setiap orang yang dengan sengaja mempekerjakan dokter atau dokter gigi  sebagaimana   dimaksud dalam Pasal 42, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). 2.)  Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh korporasi, maka pidana yang dijatuhkan adalah pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah sepertiga atau dijatuhi hukuman tambahan berupa pencabutan izin. (Prof. R. Subekti, S.H, R.Tjitrosudibio, S.H. 1992: 23-24)

G.               Aturan Hukum Positif diIndonesia yang Berkaitan dengan Malpraktik.
1. Undang-Undang Republik Indonesia nomor 23 tahun 1992 tentang Kesehatan
2. Pasal 359 – 360 KUHP Pidana
·  Pasal 359 KUHP
Barang siapa karena kesalahan (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun.
·  Pasal 360 KUHP
(1).  Barang siapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain mendapat luka-luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun
(2). Barang siapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain luka-luka sedemikian rupa sehingga timbul penyakit atau halangan menjadikan pekerjaan jabatan atau pencarian selama waktu tertemtu, diancam dengan pidana penjara paling lama Sembilan bulan atau denda paling tinggi tiga ratus rupiah.
(3). Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
3.  Dalam UU RI No 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran disebutkan juga bahwa :
     Pasal 46
a. Setiap dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik kedoktcran wajib membuat rekam medis.
b.  Rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus segera dilengkapi setelah pasien selesai menerima pelayanan kesehatan.
c.  Setiap catatan rekam medis harus dibubuhi nama, waktu, dan tanda tangan petugas
     yang memberikan pelayanan atau tindakan.
Pasal 47
a. Dokumen rekam medis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 merupakan milik dokter, dokter gigi, atau sarana pelayanan kesehatan, sedangkan isi rekam medis merupakan milik pasien.
b. Rekarm medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disimpan dan dijaga kerahasiaannya oleh dokter atau dokter gigi dan pimpinan sarana pelayanan kesehatan.
c. Ketentuan mengenai rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.

Ø   Contoh Malpraktik yang menyeret seorang Dokter kedalam jeruji besi.
Perhatian banyak pemuka profesi dokter dan hukum di Indonesia terhadap perlunyapengertian tentang adanya kekhususan penerapan hukum dibidang upaya kesehatan, secara mendadak tergugah oleh kasus dokter Setyaningrum si Pati, Jawa Tengah. Dokter mudah yang ditempatkan di Puskesmas desa di dalam tahun 1981 memberi suntikan pada seorang anak kecil yang setelah itu mengalami syok anafilaktik. Styaningrum mengusahakan sekuat kemampuannya mengatasi keadaan gawat yang terjadi, namun nyawa pasien tidak dapat ditolong. Dokter ini diseret ke pengadilan. Tenggal 2 September 1981, Hakim Pengadilan Negeri Pati memutuskan ia bersalah dengan meerapkan Pasal 360 Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang bunyinya: “Barag siapa karena kesalahan/kealpaannya menyebabkan orang lain mendapat luka berat, diancam dengan pidana  penjara paling lama tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun”. Ia dijatuhkan pidana penjara. Pada tingkat pengadilan bandung, Pengadilan Tinggi Semarang pada tanggal 9 Mei 1982 menguatkan keputusan Pengadilan Negeri Pati delapan bulan sebelumnya. Pengukuhan oleh Pengadilan Tinggi ini antara lain didasarkan pada pendapat satu dari tiga orang saksi ahli yang adalah staf pengajar senior pada suatu fakultas kedokteran negeri saksi yang satu ini menerangkan tindakan resusitas yang dilakukan oleh dokter Setyaningrum pada pasien di Puskesmas desa itu dulu tidak menurut prosedur yang seharusnya (tidak sesuai dengan standar pelayana medik). Dari pengalaman kasus Setyaningrum inilah, dirasakan benar kebutuhan bagi para penegak hukum untuk memahami dasar-dasar tentang pemeliharaan kesehatan, agar mereka dapat membuat penilaian (Judgement) yang adil pada kasus-kasus yang menyangkut upya kesehatan. Di samping itu, kebutuhan juga bagi para pelaku pelayanan kesehatan (termasuk terutama dokter) untuk memahami dasar-dasar dan penerapan ilmu hukum dalam upaya pemeliharaan kesehatan. (Samsi Jacobalis. 2005: 132-133)

Ø   Contoh Malpraktik yang menyebabkan seseorang meminta catatan Dokter
Luka bakar sesudah diInfus
Hari pertama, Honey lahir di suatu rumah sakit dengan operasi sesar. Hari ke-3, ia mencret dan dipindahkan keruangan khusus untuk pemeriksaan yang lebih intensif tanpa memberi tahukan ibunya yang dirawat dirumah sakit yang sama. Hari-4, ia masih diinfus dan panas tinggi. Tidak puas dengan pelayanan, keluarga pasien memutuskan untuk memindahkan Honey kerumah sakit lain. Hari ke-5, ia bisa dipindahkan. Pada pemerikasaan dirumah sakit lainnya itu tenyata Honey menderita luka bakar di tangan kanan bagian lengan bawah. Karena itu keluarga pasien ingin meminta catatan medik kepada dokter tentang  perawatan Honey, agar keluarga dapat mengetahui mengapa terjadi luka bakar pada tangan kanan bagian lengan bawah dikarenakan infus. Tetapi Farid Muluk mantan Menteri Kesehatan, mengatakan, “... tetapi tidak lantas meminta catatan dokter mengenai dirinya”. Lalu Hukum mengatakan dalam Permenkes No.749A/Menkes/per/XII/1989. Bab III Pasal 10 (1), “Berkas rekam medis milik sarana pelayanan,” sedangkn di (2) “isi rekam medis milik pasien.” Kalau kita perhatikan, “tidak lantas meminta” itu bukan berarti tidak boleh tapi masih dapat diperdebatkan. (Dr. Bahar Azwar, Sp B Onk. 2005: 31-33)





BAB III
PENUTUP

A.     Kesimpulan
Ada banyak penyebab mengapa persoalan malapraktik medik mencuat akhir-akhir ini dimasyarakat diantaranya pergeseran hubungan antara tenaga medis dan pasien yang tadinya bersifat paternalistic tidak seimbangdan berdasarkan kepercayaan (trust, fiduciary relationship) bergantidengan pandangan masyarakat yang makin kritis serta kesadaranhukum yang makin tinggi. Selain itu jumlah dokter di Indonesia dianggap belum seimbang dengan jumlah pasien sehingga seorang tenaga medis menangani banyak pasien (berpraktik di berbagai tempat) yang berakibat diagnosa menjadi tidak teliti.
Apresiasi masyarakat pada nilai kesehatan makin tinggi sehingga dalam melakukan hubungan dengan dokter, pasien sangat berharap agar dokter dapat memaksimalkan pelayanan medisnya untuk harapan hidup dan kesembuhan penyakitnya. Selama ini masyarakat menilai banyak sekali kasus dugaan Malpraktek medik yang dilaporkan media massa atau korban tapi sangat sedikit jumlahnya yang diselesaikan lewat jalur hukum. Dari sudut penegakan hukum sulitnya membawa kasus ini ke jalur pengadilan diantaranya karena belum ada keseragaman paham diantara para penegak hukum sendiri soal malpraktik medik ini.
Masih ada masyarakat (pasien) yang belum memahami hak-haknya untuk dapat meloprkan dugaan malpraktik yang terjadi kepadanya baik kepada penegak hukum atau melalui MKDKI (Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia). Oleh karenanya lembaga MKDKI sebagai suatu peradilan profesi dapat ditingkatkan peranannya sehingga mendapat kepercayaan dari masyarakat sebagai lembaga yang otonom, independent dan memperhatikan juga nasib korban. Bahkan berkaitan dengan MKDKI ini SEMA RI tahun 1982 menyarankan agar untuk kasus dugaan Malpraktek medik sebaiknya diselesaikan dulu lewat peradilan profesi ini.
Dari sudut hukum acara (pembuktian) terkadang penegak hukum kesulitan mencari keterangan ahli yang masih diliputi esprit de corps. Mungkin sudah saatnya diperlukan juga saksi yang memahami ilmu hukum sekaligus ilmu kesehatan.
Bahaya Malpraktek memang luar biasa. Tidak hanya mengakibatkan kelumpuhan atau gangguan fatal organ tubuh, tetapi juga menyebabkan kematian. Masalah yang ditimbulkan pun bisa sampai pada masalah nama baik, baik pribadi bahkan negara, seperti yang dipaparkan waktu penjelasan fenomena Malpraktek pada era globalisasi tadi. Benar-benar kompleks sekali permasalahan yang timbul akibat malapraktik ini. Sehingga benar bahwa malpraktek dikatakan sebagai sebuah malapetaka bagi dunia kesehatan di Indonesia.

B.      Saran
1.      Saran untuk  para Dokter : Agar selalu bekerja atau melakukan praktik yang baik dan benar  karena nyawa seseorang itu bergantung pada keahlian dan ketelitian tim medis yang menanganinya, dan sebaiknya tim medis mengingat sumpah yang diucapkannya bahwa tidak akan membeda-bedakan pasien dari segi manapun serta harus bekerja sesuai dengan hakekatnya dan para Dokter wajib mengetahui hukum dari Malpraktek kedokteran agar tidak akan pernah melakukan kesalahan yang disengaja maupun yang tidak disengaja.
2.      Saran untuk Penulis : Agar selalu memberikan berita terlengkap tentang Hukum Malpraktik supaya  masyarakat luas dapat mengetahui tentang Hukum dari Malpraktik dan tidak akan melakukan hal semacam Malpraktik tersebut, serta selalu berhati-hati akan terjadinya Malpraktik. 
3.       Dan saran untuk masyarakat luas : Sebaiknya masyarakat  mengetahui tentang hukum Malpraktik dan mengetahui pengertian Malpraktik itu sendiri, untuk mencegah terjadinya Malpraktik Kedokteran dan masyarakat harus  berhati-hati pada saat akan mempercayakan keluarganya kepada tim medis,  masyarakat harus mengetahui keahlihan dan ketelitian dari tim medis tersebut, setelah itu masyarakat dapat mempercayakan keluarganya kepada tim medis, untuk dilakukan pemeriksaan.



DAFTAR PUSTAKA

Wiradharma D. 2008. Etika Profesi Medis. Jakarta: Universitas Trisakti.
Aj, OS. 1991. Profesi Dokter. Jakarta:  Erlangga.
Siswoyo. 2010. Masalah Malpraktek dan Kelalaian Medik dalam Pelayanan Kesehatan.
Sampurna A. 2012 Dasar Etik dan Moral Profesi Kedokteran. <http://www.freewebs.com/komitemedik/etikdanmoral.html>. (05 Januari 2012).
Jacobalis, Samsi. 2005. Perkembangan Ilmu Kedokteran, etika Medis, dan Bioetika. Jakarta: CV. Sagung Seto.   
Dr. Azwar Bahar, Sp B Onk. 2005. Terhindar dari Malapraktik. Depok: PT Kawan Pustaka.
Prof. R. Subekti, S.H, R.Tjitrosudibio, S.H. 1992. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Jakarta :PT. Pradnya Paramita.