"HUKUM MALPRAKTIK DI INDONESIA"
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Kesehatan memiliki arti yang
sangat penting bagi setiap orang. Dengan kesehatan orang dapat berpikir dengan
baik dan dapat melakukan aktivitas secara optimal, sehingga dapat pula
menghasilkan karya-karya yang diinginkan. Oleh karena itu, setiap orang akan
selalu berusaha dalam kondisi yang sehat. Ketika kesehatan seseorang terganggu,
mereka akan melakukan berbagai cara untuk sesegera mungkin dapat sehat kembali.
Salah satunya adalah dengan cara berobat pada sarana-sarana pelayanan kesehatan
yang tersedia. Tetapi, upaya penyembuhan tersebut tidak akan terwujud jika
tidak didukung dengan pelayanan yang baik pula dari suatu sarana pelayanan
kesehatan, dan kriteria pelayanan kesehatan yang baik, tidak cukup ditandai
dengan terlibatnya banyak tenaga ahli atau yang hanya memungut biaya murah,
melainkan harus didasari dengan suatu sistem pelayanan medis yang baik pula
dari sarana pelayanan kesehatan tersebut. Salah satunya adalah dengan mencatat
segala hal tentang riwayat penyakit pasien, dimulai ketika pasien datang,
hingga akhir tahap pengobatan di suatu sarana pelayanan kesehatan. Dalam dunia
kesehatan, catatan-catatan tersebut dikenal dengan istilah rekam medis.
Rekam medis berisi antara lain
tentang identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan serta tindakan dan pelayanan
lain yang diberikan oleh dokter kepada seorang pasien selama menjalani
perawatan di suatu sarana pelayanan kesehatan.
Di setiap sarana pelayanan
kesehatan, rekam medis harus ada untuk mempertahankan kualitas pelayanan
profesional yang tinggi, untuk melengkapi kebutuhan informasi sebagai
pendahuluan mengenai “informed concent locum tenens”, untuk
kepentingan dokter pengganti yang meneruskan perawatan pasien, untuk referensi
masa datang, serta diperlukan karena adanya hak untuk melihat dari pasien.
Dalam pelaksanaan pelayanan medis
kepada pasien, informasi memegang peranan yang sangat penting. Informasi tidak
hanya penting bagi pasien, tetapi juga bagi dokter agar dapat menyusun dan
menyampaikan informasi kedokteran yang benar kepada pasien demi kepentingan
pasien itu sendiri. Peranan informasi dalam hubungan pelayanan kesehatan
mengandung arti bahwa pentingnya peranan informasi harus dilihat dalam hubungannya
dengan kewajiban pasien selaku individu yang membutuhkan pertolongan untuk mengatasi
keluhan mengenai kesehatannya, di samping dalam hubungannya dengan kewajiban
dokter selaku profesional di bidang kesehatan. Agar pelayanan medis dapat
diberikan secara optimal, maka diperlukan informasi yang benar dari pasien
tersebut agar dapat memudahkan bagi dokter dalam diagnosis, terapi, dan tahapan
lain yang diperlukan oleh pasien. Dengan kata lain, penyampaian informasi dari
pasien tentang penyakitnya dapat mempengaruhi perawatan pasien.
Malpraktik tidak hanya dapat
dilakukan oleh tenaga kesehatan saja, melainkan kaum profesional dalam bidang
lainnya yang menjalankan praktiknya secara buruk, misalnya profesi pengacara,
profesi notaris. Hanya saja istilah malpraktik pada umumnya lebih sering
digunakan di kalangan profesi di bidang kesehatan/ kedokteran. Begitu pula
dengan istilah malpraktik yang digunakan dalam skripsi ini juga dititik beratkan
pada malpraktek bidang kedokteran, karena inti yang akan dibahas dalam skripsi
ini adalah mengenai kedudukan rekam medis dalam pembuktian perkara pidana. Agar
lebih terfokus serta tetap memiliki keterkaitan dengan rekam medis, maka
dilakukan pengkhususan terhadap jenis perbuatan pidana yang dimaksud dalam tema
skripsi ini, yaitu malpraktik di dalam bidang kedokteran.
Berkenaan dengan kerugian yang sering diderita pasien akibat kesalahan
(kesengajaan/ kealpaan) para tenaga kesehatan karena tidak menjalankan praktik
sesuai dengan standar profesinya, saat ini masyarakat telah memenuhi
pengetahuan serta kesadaran yang cukup terhadap hukum yang berlaku, sehingga
ketika pelayanan kesehatan yang mereka terima dirasa kurang optimal bahkan
menimbulkan kondisi yang tidak diinginkan atau dianggap telah terjadi malpraktik
kedokteran, masyarakat akan melakukan gugatan baik kepada sarana pelayanan
kesehatan maupun kepada tenaga kesehatan yang bekerja di dalamnya atas kerugian
yang mereka derita.
Demi mewujudkan keadilan, memberikan perlindungan, serta kepastian hukum
bagi semua pihak, dugaan kasus malpraktik kedokteran ini harus diproses secara
hukum. Tentunya proses ini tidak mutlak menjamin akan mengabulkan tuntutan dari
pihak pasien atau keluarganya secara penuh, atau sebaliknya membebaskan pihak
tenaga kesehatan maupun sarana pelayanan kesehatan yang dalam hal ini sebagai
pihak tergugat, dari segala tuntutan hukum. Pemeriksaan terhadap dugaan kasus
malpraktek kedokteran ini harus dilakukan melalui tahapan-tahapan penyelidikan,
penyidikan, penuntutan, serta pemeriksaan di sidang pengadilan untuk
membuktikan ada/ tidaknya kesalahan (kesengajaan/ kealpaan) tenaga kesehatan
maupun sarana pelayanan kesehatan tempat mereka bekerja.
Sorotan masyarakat yang cukup tajam atas jasa pelayanan
kesehatan oleh tenaga kesehatan, khususnya dengan terjadinya berbagai kasus
yang menyebabkan ketidakpuasan masyarakat memunculkan isu adanya dugaan malpraktik
medis yang secara tidak langsung dikaji dari aspek hukum dalam pelayanan
kesehatan, karena penyebab dugaan malpraktik belum tentu disebabkan oleh adanya
kesalahan/kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan, khususnya dokter.
Bentuk dan prosedur perlindungan terhadap kasus malpraktik
yang ditinjau dari Undang-Undang Perlindungan Konsumen No.8 tahun 1999. Peraturan tersebut mengatur tentang pembinaan dan pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah melalui
lembaga-lembaga yang dibentuk oleh pemerintah yang membidangi perlindungan
konsumen, selain peran serta pemerintah, peran serta masyarakat sangat perlu
dibutuhkan dalam perlindungan konsumen dalam kasus malpraktek serta penerapan
hukum terhadap kasus malpraktek yang meliputi tanggung jawab hukum dan
sanksinya menurut Hukum Perdata, pidana dan administrasi.
Untuk membuktikan kesalahan
(kesengajaan/ kealpaan) tenaga kesehatan ataupun sarana pelayanan kesehatan
tempat mereka bekerja dalam dugaan kasus malpraktek kedokteran ini, hakim di
pengadilan dapat menjadikan rekam medis pasien sebagai salah satu sumber atau
bukti yang dapat diteliti.
B.
Rumusan
Masalah.
Berdasarkan dari uraian dalam
latar belakang di atas, dirumuskan permasalahan-permasalahan sebagai berikut :
1.
Apakah hukum kesehatan
dan Malpraktik ?
2.
Kapan kelahiran
Hukum Kesehatan dan Bagaimana Malpraktik dibidang
Hukum ?
3.
Bagaimana Malpraktik Ditinjau Dari
Segi Etika dan Hukum ?
4.
Bagaimana Aspek Hukum Malpraktik dan Rekam Medis ?
5.
Bagaimana
Asumsi
masyarakat terhadap Malpraktik ?
6.
Isi Ketentuan Pidana Undang-undang Nomor
29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran ?
7.
Apa Aturan
Hukum Positif Di Indonesia Yang
Berkaitan Dengan Malpraktik ?
C. Tujuan Penulisan.
1. Menjelaskan pengertian hukum kesehatan dan pengertian Malpraktik.
2. Dapat mengetahui kapan
kelahiran Hukum Kesehatan dan Malpraktik diBidang Hukum
3. Menjelaskan Malpraktik Ditinjau Dari Segi Etika dan Hukum.
4. Menjelaskan
AspekMalpraktik dan Rekam
Medis
5. Memahami Asumsi masyarakat terhadap Malpraktik.
6. Memahami aturan hukum
positif di indonesia yang berkaitan dengan Malpraktik.
D. Manfaat
makalah.
1. Dapat mengetahui hukum dari Malpraktik
agar tidak melakukan hal yang salah.
2. Dapat memahami aturan hukum positif di
indonesia yang berkaitan dengan Malpraktik.
3. Dapat mengetahui asumsi
masyarakat terhadap Malpraktik.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Hukum Kesehatan dan Malpraktik Menurut Para Ahli
1.
Pengertian Hukum Kesehatan
Perkembangan hukum disuatu Negara
tidak dapat dilepaskan dari sistem hukum yang dianut di Negara tersebut.
“Hukum dapat didefnisikan secara
sederhana sebagai sistem dari asas-asas
dan aturan-aturan tentang perbuatan manusia yang ditetapkan dan diakui oleh
otoritas tinggi.” (Samsi Jacobalis. 2005: 121)
Kesehatan Menurut WHO tahun 1948 “Kesehatan adalah keadaan sejahtera yang
sempurna dari badan, mental, dan sosial, dan bukan hanya tidak ada penyakit
atau kelemahan.” (Samsi Jacobalis. 2005: 127-128)
Sedangkan Kesehatan Menurut
Undang-Undang R.I. No. 23tahun 1992 tentang kesehatan “Kesehatan adalah keadaan
sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup
produkif secara sosial dan ekonomis.” (Samsi Jacobalis. 2005: 121)
Menurut H.J.J. Leenen (2005: 15) : “Hukum
kesehatan meliputi semua ketentuan yang langsung
berhubungan dengan pemeliharaan kesehatan dan penerapan hukum perdata, hukum
pidana dan hukum administrasi dalam hubungan tersebut. Demikian pula dengan
penerapan pedoman internasional, hukum kebiasaan dan juris prudensi yang
berkaitan dengan pemeliharaan kesehatan, hukum otonom, ilmu, literature menjadi
sumber hukum kesehatan.” Sedangkan Anggaran Dasar PERHUKI
(Perhimpunan Hukum Kesehatan Indonesia) menyebutkan “kesehatan adalah : Semua ketentuan hukum yang berhubungan
langsung dengan pemeliharaan dan pelayanan kesehatan dan penerapan hak dan
kewajiban baik perseorangan dan segenap lapisan masyarakat sebagai penerima
pelayanan kesehatan maupun dari pihak penyelenggaraan pelayanan kesehatan salam
segala aspek organisasi, sarana, pedoman-pedoman medik, ilmu pengetahuan
kesehatan dan hukum serta sumber-sumber hukum lainya, sedangkan yang dimaksud
dengan hukum kedokteran adalah bagian dari hukum kesehatan yang menyangkut
pelayanan medis.” (Samsi Jacobalis. 2005: 134-135)
Hukum kesehatan adalah keseluruhan
aturan hukum : 1.) Yang langsung berhubungan dengan
pemeliharaan kesehatan. 2.) Yang
merupakan penerapan hukum perdata, hukum pidana dan hukum administrasi negara
dalam kaitan dengan pemelihraan kesehatan dan, 3.) Yang besumber dari hukum otonom yang berlaku unuk kalangantertentu
saja,hukum kebiasaan, hukum yurisprudensi, aturan-aturan internasionl, ilmu pengetahuan
dan literatur yang ada kaitannya dengan pemelihraan kesehatan. (Samsi
Jacobalis. 2005: 134-135)
Jadi dapat ditarik kesimpulan dari beberapa pendapat para
ahli bahwa Hukum Kesehatan adalah : Asas-asas yang mengatur tentang ketentuan yang berhubungan langsung dengan pemeliharaan dan pelayanan
kesehatan dan penerapan hak dan kewajiban baik perseorangan dan segenap lapisan
masyarakat lainnya.
2. Pengertian Malpraktik
Secara harfiah
“mal” mempunyai arti “salah” sedangkan “praktik” mempunyai arti “pelaksanaan”
atau “tindakan”, sehingga Malpraktik berarti “pelaksanaan atau tindakan
yang salah”. Definisi Malpraktik profesi
kesehatan adalah kelalaian dari seseorang dokter atau perawat untuk
mempergunakan tingkat kepandaian dan ilmu pengetahuan dalam mengobati dan
merawat pasien, yang lazim dipergunakan terhadap pasien atau orang yang terluka
menurut ukuran dilingkungan yang sama (Valentin v. La Society de Bienfaisance
Mutuelle de Los Angelos, California, 1956: 5). Menurut
M.Jusuf Hanafiah & Amri Amir (1999: 87), “Malpraktik adalah: kelalaian
seorang dokter untuk mempergunakan tingkat keterampilan dan ilmu yang lazim
dipergunakan dalam mengobati pasien atau orang yang terluka menurut ukuran di
lingkungan yang sama. Yang dimaksud kelalaian disini adalah sikap kurang
hati-hati, yaitu tidak melakukan apa yang seseorang dengan sikap hati-hati
melakukannya dengan wajar, tapi sebaliknya melakukan apa yang seseorang dengan
sikap hati-hati tidak akan melakukannya dalam situasi tersebut. Kelalaian
diartikan pula dengan melakukan tindakan kedokteran di bawah standar pelayanan
medis (standar profesi dan standar prosedur operasional).”
Sedangkan Menurut Dr. Bahar
Azwar, Sp B Onk (2005: 1) “Malpraktik
adalah pekerjaan yang buruk atau salah (wrong
doing). ia berasal dari dua kata bahasa Latin (Yunani), yaitu malus, yang
berarti buruk, dan praktikos, pekerjaan.
Menurut M.Jusuf Hanafiah
& Amri Amir (......: 6), yaitu: 1.) Adanya unsur kesalahan/kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan dalam
menjalankan profesinya. 2.) Adanya perbuatan yang tidak sesuai dengan standar prosedur operasional. 3.) Adanya luka berat atau mati, yang
mengakibatkan pasien cacat atau meninggal dunia. 4.) Adanya hubungan kausal, dimana luka berat yang dialami pasien merupakan
akibat dari perbuatan dokter yang tidak sesuai dengan standar pelayanan medis.
Contoh-contoh Malpraktik adalah ketika seorang dokter atau tenaga kesehatan :
a. Meninggalkan kain kasa di dalam rahim pasien
b. Melupakan keteter di dalam perut pasien
c. Menunda persalinan sehingga janin meninggal di dalam
kandungan ibunya
d.
Menjahit luka operasi dengan
asal-asalan sehingga pasien terkena infeksi berat
e. Tidak mengikuti standar profesi dan standar prosedur
operasional.
Adapun pemikiran tentang Malpraktik itu sendiri antara lain dikemukakan oleh
Kartono Mohamad (Mantan ketua IDI) : para dokter jangan sok kuasa dan menganggap
pasien cuma perlu dicecoki obat. Pasien jangan lagi mau diam,
seharusnya pasien mempertanyakan resep, dosis dan jenis terapi kepada dokter
dengan kritis. Cari pendapat kedua dari dokter lain sebagai pembanding. Ini
memang agak susah karena sebagian masyarakat masih menilai posisi dokter begitu
tinggi. Sedikit saja dokter melotot, mulut pasien seolah beku terkunci. Padahal
dokter juga manusia yang bisa keliru dan karena itu butuh dicereweti. Sedangkan menurut Marius Widajarta, Ketua Yayasan Pemberdayaan Konsumen
Kesehatan Indonesia (Majalah Tempo, 28 Maret 2004: 97), ”setiap minggu ada korban Malpraktik dalam berbagai tingkatan di seluruh Indonesia, dikarenakan pengawasan praktik kedokteran di negeri ini begitu longgar dan hanya bagus sebagai teori
diatas kertas”.
Untuk membawa kasus Malpraktik ke pengadilan banyak menemui
kendala. Pertama, karena pengadilan kita sedang jatuh wibawa, karena pengadilan
itu sendiri seakan-akan bisa dibeli. Kedua rumah sakit dan dokter dianggap
mewakili pihak yang sanggup membeli pengadilan. Ketiga, para penegak hukum
belum tentu memahami teknis dan prosedur dalam mengajukan perkara malapraktik ke depan pengadilan. Tak aneh bila pasien berpikir dua kali jika harus
berhadapan dengan rumah sakit yang bermodal raksasa.
Berdamai memang pilihan mudah
bagi korban atau dokter, korban mendapatkan ganti rugi berupa materi, sementara
dokter dan rumah sakit tak perlu risau dengan publikasi bernada miring di media
massa. Tapi jalan damai inilah yang membuat malapraktik sulit untuk dibawa ke pengadilan, karena selama korban cenderung memilih
jalan damai, kita tidak akan pernah belajar menangani persoalan Malpraktik sampai tuntas.
Akan tetapi jalan damai tidak
cukup membuat para dokter jera dalam melakukan kesalahan, karena cukup dengan
uang puluhan atau ratusan juta rupiah, urusan bisa selesai. Uang sejumlah itu
bukanlah masalah besar bagi dokter atau rumah sakit, lain halnya bila kasusnya
dibawa ke pengadilan, dokter dan rumah sakit akan menanggung dampak serius bila
divonis bersalah.
Dampaknya antara lain, dokter dan
rumah sakit akan kehilangan kepercayaan dari masyarakat, yang menyebabkan
dokter dan pengelola rumah sakit akan mengalami penurunan pendapatan yang
sangat drastis. Hal itu dikarenakan masyarakat jarang atau bahkan tidak mau
lagi berobat ke tempat praktik dokter dan rumah sakit yang mempunyai kasus Malpraktik. Hasilnya, mereka tentu bakal
berhitung panjang sebelum melakukan kesalahan.
Menurut Henry campell
black (......: 8) memberikan definisi Malpraktik sebagai berikut: “Malpractice is
professional misconduct on the part of a professional person such as physician,
dentist, vetenarian, malpractice may be the result of skill or fidelity in the
performance of professional duties, intentionally wrong doing or illegal or
unethical practice.” (Malpraktik adalah kesalahan dalam menjalankan profesi sebagai dokter,
dokter gigi, dokter hewan. Malpraktik adalah akibat dari sikap tidak peduli,
kelalaian, atau kurang keterampilan, kurang hati-hati dalam melaksanakan tugas
profesi, berupa pelanggaran yang disengaja, pelanggaran hukum atau pelanggaran
etika). Sedangkan Menurut veronica komalawati menyebutkan “Malpraktik pada hakekatnya adalah
kesalahan dalam menjalankan profesi yang timbul akibat adanya
kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan dokter.” Selanjutnya Menurut Herman Hediati Koeswadji
menjelaskan bahwa “Malpraktik secara hafiah diartikan sebagai bad practice atau praktik buruk
yang berkaitan dengan penerapan ilmu dan teknologi medik dalam menjalankan
profesi medik yang mengandung ciri-ciri khusus.”
Pasal 11 UU 6 /1963 tentang
kesehatan menyatakan: dengan tidak mengurangi ketentuan dalam KUHP dan UU lain
terhadap tenaga kesehatan dapat dilakukan tindakan administrative dalam hal
sebagai berikut:
a. Melalaikan kewajiban
b. Melakukan suatu hal yang tidak
boleh diperbuat oleh seorang tenaga kerja kesehatan mengingat sumpah jabatan
maupun mengingat sumpah sebagai tenaga kesehatan.
c. Melanggar ketentuan
menurut undang-undang ini.
Pengertian Malpraktik medik menurut
WMA (World Medical Associations) “adalah Involves
the physician’s failure to conform to the standard of care for treatment of the
patient’s condition, or a lack of skill, or negligence in providing care to the
patient, which is the direct cause of an injury to the patient (adanya
kegagalan dokter untuk menerapkan standar pelayanan terapi terhadap pasien,
atau kurangnya keahlian, atau mengabaikan perawatan pasien, yang menjadi
penyebab langsung terhadap terjadinya cedera pada pasien).” (Hal: 8)
Di dalam setiap profesi termasuk profesi tenaga kesehatan
berlaku norma
etika dan norma
hukum. Oleh sebab itu apabila timbul dugaan adanya kesalahan praktik sudah
seharusnyalah diukur atau dilihat dari sudut pandang kedua norma tersebut.
Kesalahan dari sudut pandang etika disebut ethical malapractice dan dari sudut
pandang hukum disebut yuridical malapractice. Hal ini perlu difahami mengingat
dalam profesi tenaga perawatan berlaku norma etika dan norma hukum, sehingga
apabila ada kesalahan praktik perlu dilihat domain apa yang dilanggar. Karena
antara etika dan hukum ada perbedaan-perbedaan yang mendasar menyangkut
substansi, otoritas, tujuan dan sangsi, maka ukuran normatif yang dipakai untuk
menentukan adanya ethical malapractice atau yuridical malpractice dengan
sendirinya juga berbeda.
Yang jelas tidak setiap
ethical malpractice merupakan yuridical malpractice akan tetapi semua bentuk
yuridical malpractice pasti merupakan ethical malpractice (Lord Chief Justice,
1893).
Jadi dapat ditarik kesimpulan bahwa Malpraktik adalah :
kelalaian atau kesalahan pada saat menjalankan tugas seorang dokter dalam
memberikan pelayanan terhadap pasiennya dan kelalaian ini dapat disengaja
maupun tidak disengaja.
B.
Kelahiran Hukum
Kesehatan dan Malpraktik Dibidang Hukum
Ø Kelahiran Hukum Kesehatan
Pengaturan hukum tentang pemeliharaan kesehatan sebenarnya bukan hal baru.
Raja Hammurabi dari Babylona (lebih dari pada 20 abad
sebelum Masehi) telah mentusun kodefikasi hukum yang atara lain juga mengatur
tentang dokter dalam menjalanan profesinya. Seprang dokter di zaman itu yang
melakukan kesalahan berat dan merugikan pasiennya dapat diancam dengan
pemotongan jari-jarinya.
Kongres internasional pertama tentang Hukum Kedokteran (Medical Law) diselenggarakan
tahun 1967 di Kent, Belgia. Kongres ini dihadiri juga oleh beberapa orang
dokter dan ahli senior dari indonesia. Pulang dari kongres itu, mereka adalah
orang-orang pertama yang menyebarkan informasi tentang perkembangan hukum
kesehatan di negara kita. Pada tahun 1992 diundangkan UU No. 23/1992 tentang
kesehatan yang sudah akan direvisi, sedangkan sampai sekarang baru diluarkan
sejumlah kecil dari 29 peraturan pemerintah yang diamanatkan UU itu.
Undang-undang yang dikeluarkan setelah undang-undang No. 23/1992 adalah : UU
No. 5/1997 tentang Psikotropika, Undang-undang No. 22/1997 tentang Narkotika,
Undang-undang No. 29/2004 tentang praktik
kedokteran, dan UU No. 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). UU No. 29/2004 tentang praktik
kedokteran ini yang disahkan dan diundang-undangkan pada tanggal 6 Oktober 2004
adalah salah satu UU yang ditandatangani oleh Presiden Megawati Soekarno putri
pada hari-hari terakhir masa kepresidenan beliau. UU ini mulai berlaku satu tahun
setelah tanggal diundang-undangkan (pasal 88), jadi pda tanggal 6Oktober 2005.
(Samsi Jacobalis. 2005: 131-140)
Ø
Malpraktik
Dibidang Hukum
Untuk Malpraktik hukum atau yuridical malapractice dibagi dalam
3 kategori sesuai bidang hukum yang dilanggar,
yakni Criminal malpractice, Civil malpractice dan Administrative malpractice.
1. Criminal malpractice
Perbuatan seseorang dapat dimasukkan dalam kategori
criminal malpractice manakala perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik pidana
yakni :
a. Perbuatan tersebut (positive act maupun negative
act) merupakan perbuatan tercela.
b. Dilakukan dengan sikap batin yang salah
(mens rea) yang berupa kesengajaan (intensional), kecerobohan (reklessness)
atau kealpaan (negligence).
•
Criminal malpractice yang bersifat
sengaja (intensional) misalnya melakukan euthanasia (pasal 344 KUHP), membuka
rahasia jabatan (pasal 332 KUHP), membuat surat keterangan palsu (pasal 263
KUHP), melakukan aborsi tanpa indikasi medis pasal 299 KUHP).
• Criminal malpractice yang bersifat
ceroboh (recklessness) misalnya melakukan tindakan medis tanpa persetujuan
pasien informed consent.
• Criminal malpractice yang bersifat negligence
(lalai) misalnya kurang hati-hati mengakibatkan luka, cacat atau meninggalnya
pasien, ketinggalan klem dalam perut pasien saat melakukan operasi.
Pertanggung jawaban didepan hukum pada criminal malapractice
adalah bersifat individual/personal dan oleh sebab itu tidak dapat dialihkan
kepada orang lain atau kepada rumah sakit/sarana kesehatan.
2. Civil malpractice
Seorang tenaga kesehatan akan disebut melakukan
civil malpractice apabila tidak melaksanakan kewajiban atau tidak memberikan
prestasinya sebagaimana yang telah disepakati (ingkar janji). Tindakan tenaga
kesehatan yang dapat dikategorikan civil malapractice antara lain:
a. Tidak melakukan apa yang menurut kesepakatannya
wajib dilakukan.
b. Melakukan apa yang menurut
kesepakatannya wajib dilakukan tetapi terlambat melakukannya.
c. Melakukan apa
yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi tidak sempurna.
d. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya tidak
seharusnya dilakukan.
Pertanggung jawaban civil malpractice dapat
bersifat individual atau korporasi dan dapat pula dialihkan pihak lain
berdasarkan principle of vicarius liability.Dengan prinsip ini maka rumah
sakit/sarana kesehatan dapat bertanggung gugat atas kesalahan yang dilakukan
karyawannya (tenaga kesehatan) selama tenaga kesehatan tersebut dalam rangka
melaksanakan tugas kewajibannya.
·
Administrative
malpractice
Dokter
dikatakan telah melakukan administrative malpractice manakala tenaga perawatan
tersebut telah melanggar hukum administrasi. Perlu diketahui bahwa dalam
melakukan police power, pemerintah mempunyai kewenangan menerbitkan berbagai
ketentuan di bidang kesehatan, misalnya tentang persyaratan bagi tenaga
perawatan untuk menjalankan profesinya (Surat Ijin Kerja, Surat Ijin Praktik),
batas kewenangan serta kewajiban tenaga perawatan. Apabila aturan tersebut
dilanggar maka tenaga kesehatan yang bersangkutan dapat dipersalahkan melanggar
hokum administrasi.
· Pembuktian Malpraktik Dibidang Pelayanan Kesehatan
Dalam kasus atau gugatan adanya civil
malapractice embuktianya dapat dilakukan dengan dua cara yakni :
1. Cara langsung
Oleh Taylor membuktikan adanya
kelalaian memakai tolok ukur adanya 4 D yakni :
a. Duty
(kewajiban)
Dalam hubungan perjanjian tenaga dokter
dengan pasien, dokter haruslah bertindak berdasarkan :
1)
Adanya indikasi
medis
2)
Bertindak secara
hati-hati dan teliti
3)
Bekerja sesuai
standar profesi
4)
Sudah ada
informed consent.
b. Dereliction
of Duty (penyimpangan dari kewajiban)
Jika seorang dokter melakukan tindakan
menyimpang dari apa yang seharusnya atau tidak melakukan apa yang seharusnya
dilakukan menurut standard profesinya, maka dokter dapat dipersalahkan.
c. Direct Cause (penyebab langsung)
d. Damage
(kerugian)
Dokter untuk dapat dipersalahkan
haruslah ada hubungan kausal (langsung) antara penyebab (causal) dan kerugian
(damage) yang diderita oleh karenanya dan tidak ada peristiwa atau tindakan
sela diantaranya., dan hal ini haruslah dibuktikan dengan jelas. Hasil (outcome)
negatif tidak dapat sebagai dasar menyalahkan dokter. Sebagai adagium dalam
ilmu pengetahuan hukum, maka pembuktiannya adanya kesalahan dibebankan/harus
diberikan oleh si penggugat (pasien).
2.
Cara tidak langsung
Cara tidak langsung merupakan cara pembuktian yang
mudah bagi pasien, yakni dengan mengajukan fakta-fakta yang diderita olehnya
sebagai hasil layanan perawatan (doktrin res ipsa loquitur). Doktrin res ipsa
loquitur dapat diterapkan apabila fakta-fakta yang ada memenuhi kriteria:
a.
Fakta tidak
mungkin ada/terjadi apabila dokter tidak lalai
b.
Fakta itu
terjadi memang berada dalam tanggung jawab dokter
c.
Fakta itu
terjadi tanpa ada kontribusi dari pasien dengan perkataan lain tidak ada
contributory negligence.
Di dalam transaksi
teraputik ada beberapa macam tanggung gugat, antara lain:
1. Contractual liability
1. Contractual liability
Tanggung gugat ini timbul sebagai akibat tidak
dipenuhinya kewajiban dari hubungan kontraktual yang sudah disepakati. Di
lapangan pengobatan, kewajiban yang harus dilaksanakan adalah daya upaya
maksimal, bukan keberhasilan, karena health care provider baik tenaga kesehatan
maupun rumah sakit hanya bertanggung jawab atas pelayanan kesehatan yang tidak
sesuai standar profesi/standar pelayanan.
2. Vicarius liability
Vicarius liability atau respondeat superior ialah
tanggung gugat yang timbul atas kesalahan yang dibuat oleh tenaga kesehatan
yang ada dalam tanggung jawabnya (sub ordinate), misalnya rumah sakit akan
bertanggung gugat atas kerugian pasien yang diakibatkan kelalaian perawat
sebagai karyawannya.
3. Liability in
tort
Liability in tort adalah tanggung gugat atas perbuatan
melawan hokum (onrechtmatige daad). Perbuatan melawan hukum tidak terbatas haya
perbuatan yang melawan hukum, kewajiban hukum baik terhadap diri sendiri maupun
terhadap orang lain, akan tetapi termasuk juga yang berlawanan dengan
kesusilaan atau berlawanan dengan ketelitian yang patut dilakukan dalam
pergaulan hidup terhadap orang lain atau benda orang lain (Hogeraad 31 Januari
1919).
C.
Malpraktik
ditinjau dari Segi Etika dan Hukum
Masalah dugaan malpraktik medik, akhir-akhir ini, sering
diberitakan di media masa. Namun, sampai kini, belum ada yang tuntas
penyelesaiannya. Tadinya masyarakat berharap bahwa UU Praktik Kedokteran itu
akan juga mengatur masalah Malpraktik medik. Namun,
materinya ternyata hanya mengatur masalah disiplin, bersifat intern. Walaupun
setiap orang dapat mengajukan ke Majelis Disiplin Kedokteran, tetapi hanya yang
menyangkut segi disiplin saja. Untuk segi hukumnya, undang-undang merujuk ke
KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) bila terjadi tindak pidana. Namun,
kalau sampai diajukan ke Pengadilan tetap terkatung-katung tidak ada kunjung
penyelesaiannya, lantas apa gunanya? Di negara yang menganut sistem hukum Anglo-Saxon, masalah
dugaan Malpraktik medik ini
sudah ada ketentuan di dalam common law dan menjadi yurisprudensi. Walaupun
Indonesia berdasarkan hukum tertulis, seharusnya tetap terbuka putusan
pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap menjadi yurisprudensi.
Dan karena masyarakat semakin sadar terhadap masalah
pelayanan kesehatan, DPR yang baru harus dapat menangkap kondisi tersebut
dengan berinisiatif membentuk Undang-Undang (UU) tentang Malpraktek Medik, sebagai pelengkap UU Praktik Kedokteran.
Bagaimana materinya, kita bisa belajar dari negara-negara yang telah memiliki peraturan tentang hal tersebut. Harapan masyarakat, ketika mereka merasa dirugikan akibat tindakan medis, landasan hukumnya jelas. Sedangkan di pihak para medis, setiap tindakannya tidak perlu lagi dipolemikan sepanjang sesuai undang-undang.
Bagaimana materinya, kita bisa belajar dari negara-negara yang telah memiliki peraturan tentang hal tersebut. Harapan masyarakat, ketika mereka merasa dirugikan akibat tindakan medis, landasan hukumnya jelas. Sedangkan di pihak para medis, setiap tindakannya tidak perlu lagi dipolemikan sepanjang sesuai undang-undang.
Etika punya arti yang berbeda-beda jika dilihat dari
sudut pandang pengguna yang berbeda dari istilah itu. Bagi ahli falsafah, etika
adalah ilmu atau kajian formal tentang moralitas. Moralitas adalah ha-hal yang
menyangkut moral, dan moral adalah sistem tentang motivasi, perilaku dan
perbuatan manusia yang dianggap baik atau buruk. Franz Magnis Suseno menyebut
etika sebagai ilmu yang mencari orientasi bagi usaha manusia untuk menjawab
pertanyaan yang amat fundamental : bagaimana saya harus hidup dan bertindak ?
Peter Singer, filusf kontemporer dari Australia menilai kata etika dan
moralitas sama artinya, karena itu dalam buku-bukunya ia menggunakan keduanya
secara tertukar-tukar. Bagi sosiolog, etika adalah adat, kebiasaan dan perilaku
orang-orang dari lingkungan budaya tertentu. Bagi praktisi profesional termasuk
dokter dan tenaga kesehatan lainnya etika berarti kewajiban dan tanggung jawab
memenuhi harapan (ekspekatasi) profesi dan amsyarakat, serta bertindak dengan
cara-cara yang profesional, etika adalah salah satu kaidah yang menjaga
terjalinnya interaksi antara pemberi dan penerima jasa profesi secara wajar,
jujur, adil, profesional dan terhormat.
Bagi eksekutif puncak rumah sakit, etika seharusnya
berarti kewajiban dan tanggung jawab khusus terhadap pasien dan klien lain,
terhadap organisasi dan staff, terhadap diri sendiri dan profesi, terhadap
pemrintah dan pada tingkat akhir walaupun tidak langsung terhadap masyarakat.
Kriteria wajar, jujur, adil, profesional dan terhormat tentu berlaku juga untuk
eksekutif lain di rumah sakit.
Bagi asosiasi profesi, etika adalah kesepakatan
bersamadan pedoman untuk diterapkan dan dipatuhi semua anggota asosiasi tentang
apa yang dinilai baik dan buruk dalam pelaksanaan dan pelayanan profesi itu.
Malpraktik meliputi
pelanggaran kontrak ( breach of contract), perbuatan yang disengaja
(intentional tort), dan kelalaian (negligence). Kelalaian lebih mengarah pada
ketidaksengajaan (culpa), sembrono dan kurang teliti. Kelalaian bukanlah suatu
pelanggaran hukum atau kejahatan, selama tidak sampai membawa kerugian atau
cedera kepada orang lain dan orang itu dapat menerimanya. Ini berdasarkan
prinsip hukum “de minimis noncurat lex”, hukum tidak mencampuri hal-hal yang
dianggap sepele (hukumonliine.com, 17 April 2004).
Ketidakter cantuman istilah dan definisi menyeluruh
tentang malpraktik dalam hukum positif di Indonesia, ambiguitas kelalaian medik
dan malapraktik yang berlarut-larut, hingga referensi-referensi tentang
malpraktik yang masih dominan diadopsi dari luar negeri yang relevansinya
dengan kondisi di Indonesia masih dipertanyakan, semuanya merupakan Pe-Er besar
bagi pemerintah. Barangkali inovasi cerdas pemerintah guna menangani kasus Malpraktik dan sengketa medik adalah lahirnya RUU Praktik
Kedokteran. Akan tetapi, benarkah demikian? Dalam beberapa pasal, RUU Praktik
Kedokteran memang memberikan kepastian hukum bagi dokter sekaligus perlindungan
bagi pasien.
Secara substansial, RUU yang terdiri dari 182 pasal ini
memuat pasal-pasal yang implisit dengan teori-teori pembelaan dokter yang
umumnya digunakan dalam peradilan. RUU Praktik Kedokteran memungkinkan sebuah
sistem untuk meregulasi pelayanan medis yang terstandardisasi dan terkualifikasi sehingga probabilitas
terjadinya malapratik dapat dieliminasi seminimal mungkin. Dengan
dicantumkannya peraturan pidana dan perdata serta peradilan profesi tenaga
medis, harapan perlindungan terhadap pasien dapat terealisasi.
D.
Aspek Hukum
Malpraktik dan Rekam Medis
Ø Aspek Hukum Malpraktik
Hukum itu mempunyai 3 pengertian, sebagai sarana mencapai
keadilan, yang kedua sebagai pengaturan dari penguasa yang mengatur perbuatan
apa yang boleh dilakukan, dilarang, siapa yang melakukan dan sanksi apa yang
akan dijatuhkan (hukum objektif). Dan yang ketiga hukum itu juga merupakan
hak.Oleh karenanya penegakan hukum bukan hanya untuk medapatkan keadilan tapi
juga hak bagi masyarakat (korban).
Sehubungan dengan hal ini, Adami Chazawi juga menilai
tidak semua Malpraktik medik masuk
dalam ranah hukum pidana.
Ada 3 syarat yang harus terpenuhi, yaitu pertama sikap bathin dokter (dalam hal
ini ada kesengajaan/dolus atau culpa), yang kedua syarat dalam perlakuan medis
yang meliputi perlakuan medis yang menyimpang dari standar tenaga medis, standar
prosedur operasional, atau mengandung sifat melawan hukum oleh berbagai sebab
antara lain tanpa STR atau SIP, tidak sesuai kebutuhan medis pasien. Sedangkan
syarat ketiga untuk dapat menempatkan malpraktik medik dengan hukum pidana
adalah syarat akibat, yang berupa timbulnya kerugian bagi kesehatan tubuh yaitu
luka-luka (pasal 90 KUHP) atau kehilangan nyawa pasien sehingga menjadi unsure
tindak pidana.
Selama ini
dalam praktek tindak pidana yang dikaitkan dengan dugaan malapraktik medik sangat
terbatas. Untuk malpraktik medik yang dilakukan dengan sikap bathin culpa hanya
2 pasal yang biasa diterapkan yaitu Pasal 359 (jika mengakibatkan kematian
korban) dan Pasal 360 (jika korban luka berat).
Pada tindak pidana aborsi criminalis (Pasal 347 dan 348
KUHP). Hampir tidak pernah jaksa menerapkan pasal penganiyaan (pasal 351-355 KUHP)
untuk Malpraktik medik. Dalam setiap
tindak pidana pasti terdapat unsure sifat melawan hukum baik yang dicantumkan
dengan tegas ataupun tidak. Secara umum sifat melawan hukum malapraktik medik
terletak pada dilanggarnya kepercayaan pasien dalam kontrak teurapetik tadi. Dari sudut
hukum perdata, perlakuan medis oleh dokter didasari oleh suatu ikatan atau
hubungan inspanings verbintenis (perikatan usaha), berupa usaha untuk melakukan
pengobatan sebaik-baiknya sesuai dengan standar profesi, standar prosedur
operasional, kebiasaan umum yang wajar dalam dunia kedokteran tapi juga
memperhatikan kesusilaan dan kepatutan.Perlakuan yang tidak benar akan
menjadikan suatu pelanggaran kewajinban (wan prestasi).
Ada perbedaan akibat kerugian oleh Malpraktik perdata dengan Malpraktik pidana.
Kerugian dalam malpraktrk perdata lebih luas dari akibat Malpraktik pidana. Akibat Malpraktik perdata
termasuk perbuatan melawan hukum terdiri atas kerugian materil dan idiil,
bentuk kerugian ini tidak dicantumkan secara khusus dalam UU. Berbeda dengan
akibat malpraktik pidana, akibat yang dimaksud harus sesuai dengan akibat yang
menjadi unsur pasal tersebut. Malpraktik kedokteran hanya terjadi pada tindak
pidana materil (yang melarang akibat yang timbul,dimana akibat menjadi syarat
selesainya tindak pidana). Dalam hubungannya dengan malpraktik medik pidana,
kematian,luka berat, rasa sakit atau luka yang mendatangkan penyakit atau yang
menghambat tugas dan matapencaharian merupakan unsure tindak pidana.
Jika dokter hanya melakukan tindakan yang bertentangan
dengan etik (penggantian kerugian karena kelalaian maka penggugat harus dapat
membuktikan adanya suatu kewajibanbagi dokter terhadap pasien, dokter telah
melanggar standar pelayananan medik yang lazim dipergunakan, penggugat telah
menderita kerugian yang dapat dimintakan ganti ruginya. Terkadang
penggugat tidak perlu membuktikan adanya kelalaian tergugat. Dalam hukum
dikenal istilah Res Ipsa Loquitur (the things speaks for itself), misalnya
dalam hal terdapatnya kain kasa yang tertinggal di rongga perut pasien sehingga
menimbulkan komplikasi pasca bedah. Dalam hal ini dokterlah yang harus membuktikan
tidak adanya kelalain pada dirinya.
Ø Rekam Medis Kedokteran
Setiap
dokter/dokter gigi dalam menjalankan praktik wajib membuat rekam medis {pasal
46, ayat (1)}. Rekam medis harus segera dilengkapi setelah pasien selesai
menerima pelayanan kesehatan {pasal 46, ayat (2)}. Setiap rekam medis harus
dibubuhi nama, waktu, dan tanda tangan petugas yang memberikan pelayanan atau
tindakalan {pasal 46, ayat (3)}. Dokumen rekam medis merupakan milik dokter,
dokter gigi, atau sarana pelayanan kesehatan, sedangkan isi rekam medis
merupakan milik pasien {pasal 47, ayat (1)}. Rekam medis harus disimpan dan
dijaga kerahasiaannya oleh dokter/dokter gigi dan pimpinan sarana pelayanan
kesehatan {pasal 47, ayat (2)}. Ketentuan mengenai
rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan
Peratura Menteri {pasal 47, ayat (3)}. (Samsi Jacobalis.
2005: 148)
E.
Asumsi
masyarakat terhadap Malpraktik
Maraknya Malpraktik di Indonesia
membuat masyarakat tidak percaya lagi pada pelayanan kesehatan di Indonesia. Ironisnya
lagi, pihak kesehatan pun khawatir kalau para tenaga medis Indonesia tidak
berani lagi melakukan tindakan medis karena takut berhadapan dengan hukum.
Lagi-lagi hal ini disebabkan karena kurangnya komunikasi yang baik antara
tenaga medis dan pasien. Tidak jarang seorang tenaga medis tidak memberitahukan
sebab dan akibat suatu tindakan medis. Pasien pun enggan berkomunikasi dengan
tenaga medis mengenai penyakitnya. Oleh karena itu, Departemen Kesehatan perlu
mengadakan penyuluhan atau sosialisasi kepada masyarakat tentang bagaimana
kinerja seorang tenaga medis.
Sekarang ini tuntutan professional terhadap profesi ini
makin tinggi. Berita yang menyudutkan serta tudingan bahwa dokter telah
melakukan kesalahan dibidang medis bermunculan. Di Negara-negara maju yang lebih dulu mengenal istilah malpraktik medis
ini ternyata tuntutan terhadap tenaga medis yang melakukan ketidaklayakan dalam
praktik juga tidak surut. Biasanya yang menjadi sasaran terbesar adalah dokter
spesialis bedah (ortopedi, plastic dan syaraf), spesialis anestesi serta
spesialis kebidanan dan penyakit kandungan. Di Indonesia,
fenomena ketidakpuasan pasien pada kinerja tenaga medis juga berkembang. Pada
awal januari tahun 2007 publik dikejutkan oleh demontrasi yang dilakukan oleh
para korban dugaan malapraktik medis ke Polda Metro Jaya dengan tuntutan agar
polisi dapat mengusut terus sampai tuntas setiap kasus dugaan malpraktek yang
pernah dilaporkan masyarakat.
Tuntutan yang demikian dari masyarakat dapat dipahami
mengingat sangat sedikit jumlah kasus Malpraktik medik yang diselesaikan di pengadilan. Apakah
secara hukum perdata, hukum pidana atau dengan hukum administrasi. Padahal
media massa nasional juga daerah berkali-kali melaporkan adanya dugaan malapraktik
medik yang dilakukan dokter tapi sering tidak berujung pada peyelesaian melalui
sistem peradilan.
Salah satu dampak adanya Malpraktik pada zaman sekarang ini (globalisasi)
Saat ini kita hidup di jaman globalisasi, jaman yang penuh tantangan, jaman yang penuh persaingan dimana terbukanya pintu bagi produk-produk asing maupun tenaga kerja asing ke Indonesia. Kalau kita kaitkan dengan dunia medis, ada manfaat yang didapat, tetapi banyak pula kerugian yang ditimbulkan. Manfaatnya adalah seiring mesuknya jaman globalisasi, maka tidak menutup kemungkinan akan kehadiran peralatan pelayanan kesehatan yang canggih. Hal ini memberikan peluang keberhasilan yang lebih besar dalam kesembuhan pasien. Akan tetapi, banyak juga kerugian yang ditimbulkan. Masuknya peralatan canggih tersebut memerlukan sumber daya manusia yang dapat mengoperasikannya serta memperbaikinya kalau rusak. Yang menjadi sorotan disini adalah dalam hal pengoperasiannya. Coba kita analogikan terlebih dahulu, dengan masuknya peralatan-peralatan canggih tersebut, maka mutu pelayanan kesehatan harus ditingkatkan. Namun, yang terjadi saat ini adalah banyak tenaga medis yang melakukan kesalahan dalam pengoperasian peralatan canggih tersebut sehingga menimbulkan malpraktik. Jelas sekali bahwa ketergantungan pada peralatan pelayanan kesehatan ini dapat menghambat pelayanan kesehatan. Untuk menindaklanjuti masalah ini, agar tidak sampai terjadi malpraktik, perlu adanya penyuluhan kepada tenaga pelayanan kesehatan mengenai masalah ini. Kemudian, perlu adanya penyesuaian kurikulum pendidikan dengan perkembangan teknologi. Satu hal yang lebih penting lagi adalah perlu adanya kesadaran bagi para tenaga medis untuk terus belajar dan belajar agar dapat meningkatkan kemampuannya dalam penggunaan peralatan canggih ini demi mencegah terjadinya Malpraktik.
Saat ini kita hidup di jaman globalisasi, jaman yang penuh tantangan, jaman yang penuh persaingan dimana terbukanya pintu bagi produk-produk asing maupun tenaga kerja asing ke Indonesia. Kalau kita kaitkan dengan dunia medis, ada manfaat yang didapat, tetapi banyak pula kerugian yang ditimbulkan. Manfaatnya adalah seiring mesuknya jaman globalisasi, maka tidak menutup kemungkinan akan kehadiran peralatan pelayanan kesehatan yang canggih. Hal ini memberikan peluang keberhasilan yang lebih besar dalam kesembuhan pasien. Akan tetapi, banyak juga kerugian yang ditimbulkan. Masuknya peralatan canggih tersebut memerlukan sumber daya manusia yang dapat mengoperasikannya serta memperbaikinya kalau rusak. Yang menjadi sorotan disini adalah dalam hal pengoperasiannya. Coba kita analogikan terlebih dahulu, dengan masuknya peralatan-peralatan canggih tersebut, maka mutu pelayanan kesehatan harus ditingkatkan. Namun, yang terjadi saat ini adalah banyak tenaga medis yang melakukan kesalahan dalam pengoperasian peralatan canggih tersebut sehingga menimbulkan malpraktik. Jelas sekali bahwa ketergantungan pada peralatan pelayanan kesehatan ini dapat menghambat pelayanan kesehatan. Untuk menindaklanjuti masalah ini, agar tidak sampai terjadi malpraktik, perlu adanya penyuluhan kepada tenaga pelayanan kesehatan mengenai masalah ini. Kemudian, perlu adanya penyesuaian kurikulum pendidikan dengan perkembangan teknologi. Satu hal yang lebih penting lagi adalah perlu adanya kesadaran bagi para tenaga medis untuk terus belajar dan belajar agar dapat meningkatkan kemampuannya dalam penggunaan peralatan canggih ini demi mencegah terjadinya Malpraktik.
Hal ini dapat direalisasikan dengan adanya
penyuluhan yang disebutkan tadi. Selain pembahasan dari sisi peralatan tadi,
juga perlu dipikirkan masalah eksistensi dokter Indonesia dalam menghadapi
globalisasi. Seperti yang disebutkan sebelumnya, di jaman globalisasi ini
memberikan pintu terbuka bagi tenaga kesehatan asing untuk masuk ke Indonesia,
begitu pula tenaga kesehatan Indonesia dapat bekerja diluar negeri dengan mudah.
Namun, apabila tidak ada tindakan untuk mempersiapkan hal ini, dapat
menimbulkan kerugian bagi tenaga kesehatan kita. Bayangkan saja, tidak menutup
kemungkinan apabila seorang tenaga medis yang kurang mempersiapkan dirinya
untuk berkiprah di negeri orang, dikarenakan ilmunya yang masih minim serta
perbedaan kurikulum di negeri yang ia tempati, terjadilah malapraktik. Hal ini
tidak saja mencoreng nama baik tenaga edis tersebut tersebut, tetapi juga nama
baik dunia kesehatan Indonesia. Yang jelas, kami sangat berharap akan peran
dari Pemerintah pada umumnya dan peran dari Departemen Kesehatan pada khususnya
untuk mempersiapkan tenaga kesehatan Indonesia dalam menghadapi era globalisasi
saat ini.
F.
Isi Undang-undang No. 29 Tahun 2004 tentang
Praktik Kedokteran
Ketentuan Pidana
Ø Paragraf 4
Rahasia
Kedokteran Pasal 48 (1) Setiap
dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran wajib menyimpan
rahasia kedokteran.(2) Rahasia
kedokteran dapat dibuka hanya untuk kepentingan kesehatan pasien,memenuhi
permintaan aparatur penegak hukum dalam rangka penegakan hukum, permintaan
pasien sendiri, atau berdasarkan ketentuan
perundangundangan.(3) Ketentuan
lebih lanjut mengenai rahasia kedokteran diatur dengan Peraturan Menteri. (Prof. R. Subekti, S.H, R.Tjitrosudibio, S.H. 1992: 16)
Ø Paragraf 6
Hak
dan Kewajiban Dokter atau Dokter Gigi Pasal 50 Dokter
atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai hak : a.) memperoleh perlindungan hukum sepanjang
melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi
dan standar prosedur operasional, b.)
memberikan pelayanan medis menurut standar profesi dan standar prosedur
operasional, c.) memperoleh informasi yang lengkap dan
jujur dari pasien atau keluarganya dan d.)
menerima imbalan jasa. Pasal 51 Dokter atau
dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai kewajiban : a.) memberikan pelayanan medis sesuai dengan
standar profesi dan standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien, b.)
merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai keahlian atau
kemampuan yang lebih baik, apabila tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau
pengobatan, c.) merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya
tentang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia, d.)
melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin
ada orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya dan, e.)
menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran atau
kedokteran gigi. (Prof. R. Subekti,
S.H, R.Tjitrosudibio, S.H. 1992: 16-17)
Ø
Paragraf 7
Hak dan
Kewajiban Pasien Pasal 52 Pasien, dalam menerima pelayanan pada praktik
kedokteran, mempunyai hak : a.) mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang
tindakan medis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (3) b.) meminta pendapat
dokter atau dokter gigi lain c.) mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan
medis d.) menolak tindakan medis dan e.) mendapatkan isi rekam medis. Pasal
53 Pasien, dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran,
mempunyai kewajiban: a.) memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang
masalah kesehatannya b.) mematuhi nasihat dan petunjuk dokter atau dokter gigi c.)
mematuhi ketentuan yang berlaku di sarana pelayanan kesehatan dan d.)
memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima. (Prof. R. Subekti, S.H, R.Tjitrosudibio, S.H. 1992:16-17)
Ø Bagian Ketiga
Pemeriksaan Pasal
67 Majelis
Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia memeriksa dan memberikan keputusan
terhadap pengaduan yang berkaitan dengan disiplin dokter dan dokter gigi. Pasal
68 Apabila dalam
pemeriksaan ditemukan pelanggaran etika, Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran
Indonesia meneruskan pengaduan pada organisasi profesi. (Prof. R. Subekti,
S.H, R.Tjitrosudibio, S.H. 1992: 21)
Ø Pasal 75
1.)
Setiap dokter
atau dokter gigi yang dengan sengaja melakukan praktik kedokteran
tanpa memiliki
surat tanda registrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29
ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun
atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). 2.)
Setiap dokter atau dokter gigi warga negara asing yang dengan sengaja melakukan
praktik
kedokteran tanpa memiliki surat tanda registrasi sementara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp100.000.000,00
(seratus juta rupiah). 3.)
Setiap dokter atau dokter gigi warga negara asing yang dengan sengaja melakukan
praktik kedokteran tanpa memiliki surat tanda registrasi bersyarat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp100.000.000,00
(seratus juta rupiah). Pasal 76 Setiap dokter atau dokter gigi yang
dengan sengaja melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat izin praktik
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dipidana dengan pidana penjara paling lama
3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Pasal
77 Setiap
orang yang dengan sengaja menggunakan identitas berupa gelar atau bentuk lain
yang menimbulkan kesan bagi masyarakat seolah-olah yang bersangkutan adalah
dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dokter atau
surat tanda registrasi dokter gigi dan/atau surat izin praktik sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 73 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5
(lima) tahun atau denda paling banyak Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta
rupiah).Pasal 78 Setiap orang
yang dengan sengaja menggunakan alat, metode atau cara lain dalam memberikan
pelayanan kepada masyarakat yang menimbulkan kesan seolah-olah yang
bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda
registrasi dokter atau surat tanda registrasi dokter gigi atau surat izin
praktik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (2) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp150.000.000,00
(seratus lima puluh juta rupiah). Pasal 79 Dipidana
dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak
Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah), setiap dokter atau dokter gigi yang
: a.) dengan sengaja tidak memasang papan nama
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1). b.) dengan sengaja tidak membuat rekam medis
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1) atau c.) dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, atau
huruf e. Pasal 80 1.)
Setiap orang yang dengan sengaja mempekerjakan dokter atau dokter gigi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak
Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). 2.) Dalam hal tindak
pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh korporasi, maka pidana
yang dijatuhkan adalah pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah
sepertiga atau dijatuhi hukuman tambahan berupa pencabutan izin. (Prof. R. Subekti, S.H, R.Tjitrosudibio, S.H. 1992: 23-24)
G.
Aturan Hukum
Positif diIndonesia yang Berkaitan dengan Malpraktik.
1.
Undang-Undang Republik Indonesia nomor 23 tahun 1992 tentang Kesehatan
2. Pasal 359 –
360 KUHP Pidana
· Pasal 359 KUHP
Barang siapa karena kesalahan (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati,
diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan
paling lama satu tahun.
· Pasal 360 KUHP
(1). Barang siapa
karena kealpaannya menyebabkan orang lain mendapat luka-luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan
paling lama satu tahun
(2). Barang siapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain luka-luka sedemikian
rupa sehingga timbul penyakit atau halangan menjadikan pekerjaan jabatan atau
pencarian selama waktu tertemtu, diancam dengan pidana penjara paling lama
Sembilan bulan atau denda paling tinggi tiga ratus rupiah.
(3). Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik
Kedokteran
3. Dalam UU RI No 29 tahun 2004 tentang Praktik
Kedokteran disebutkan juga bahwa :
Pasal 46
a. Setiap dokter atau
dokter gigi dalam menjalankan praktik kedoktcran wajib membuat rekam medis.
b. Rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus segera dilengkapi setelah pasien selesai menerima pelayanan kesehatan.
c. Setiap
catatan rekam medis harus dibubuhi nama, waktu, dan tanda tangan petugas
yang memberikan pelayanan atau tindakan.
Pasal 47
Pasal 47
a. Dokumen rekam
medis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 merupakan milik dokter, dokter gigi,
atau sarana pelayanan kesehatan, sedangkan isi rekam medis merupakan milik
pasien.
b. Rekarm medis
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disimpan dan dijaga kerahasiaannya
oleh dokter atau dokter gigi dan pimpinan sarana pelayanan kesehatan.
c. Ketentuan mengenai
rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan
Peraturan Menteri.
Ø
Contoh Malpraktik yang menyeret seorang Dokter kedalam jeruji besi.
Perhatian banyak pemuka profesi dokter dan hukum di
Indonesia terhadap perlunyapengertian tentang adanya kekhususan penerapan hukum
dibidang upaya kesehatan, secara mendadak tergugah oleh kasus dokter
Setyaningrum si Pati, Jawa Tengah. Dokter mudah yang ditempatkan di Puskesmas
desa di dalam tahun 1981 memberi suntikan pada seorang anak kecil yang setelah
itu mengalami syok anafilaktik. Styaningrum mengusahakan sekuat kemampuannya
mengatasi keadaan gawat yang terjadi, namun nyawa pasien tidak dapat ditolong. Dokter
ini diseret ke pengadilan. Tenggal 2 September 1981, Hakim Pengadilan Negeri
Pati memutuskan ia bersalah dengan meerapkan Pasal 360 Kitab Undang-undang
Hukum Pidana yang bunyinya: “Barag siapa karena kesalahan/kealpaannya
menyebabkan orang lain mendapat luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama tahun atau pidana
kurungan paling lama satu tahun”. Ia dijatuhkan pidana penjara. Pada tingkat
pengadilan bandung, Pengadilan Tinggi Semarang pada tanggal 9 Mei 1982
menguatkan keputusan Pengadilan Negeri Pati delapan bulan sebelumnya.
Pengukuhan oleh Pengadilan Tinggi ini antara lain didasarkan pada pendapat satu
dari tiga orang saksi ahli yang adalah staf pengajar senior pada suatu fakultas
kedokteran negeri saksi yang satu ini menerangkan tindakan resusitas yang
dilakukan oleh dokter Setyaningrum pada pasien di Puskesmas desa itu dulu tidak
menurut prosedur yang seharusnya (tidak sesuai dengan standar pelayana medik). Dari
pengalaman kasus Setyaningrum inilah, dirasakan benar kebutuhan bagi para
penegak hukum untuk memahami dasar-dasar tentang pemeliharaan kesehatan, agar
mereka dapat membuat penilaian (Judgement)
yang adil pada kasus-kasus yang menyangkut upya kesehatan. Di samping itu,
kebutuhan juga bagi para pelaku pelayanan kesehatan (termasuk terutama dokter)
untuk memahami dasar-dasar dan penerapan ilmu hukum dalam upaya pemeliharaan
kesehatan. (Samsi Jacobalis. 2005: 132-133)
Ø
Contoh Malpraktik yang menyebabkan seseorang meminta catatan Dokter
Luka bakar sesudah diInfus
Hari pertama, Honey lahir di suatu rumah sakit dengan operasi sesar. Hari
ke-3, ia mencret dan dipindahkan keruangan khusus untuk pemeriksaan yang lebih
intensif tanpa memberi tahukan ibunya yang dirawat dirumah sakit yang sama.
Hari-4, ia masih diinfus dan panas tinggi. Tidak puas dengan pelayanan,
keluarga pasien memutuskan untuk memindahkan Honey kerumah sakit lain. Hari
ke-5, ia bisa dipindahkan. Pada pemerikasaan dirumah sakit lainnya itu tenyata
Honey menderita luka bakar di tangan kanan bagian lengan bawah. Karena itu
keluarga pasien ingin meminta catatan medik kepada dokter tentang perawatan Honey, agar keluarga dapat mengetahui
mengapa terjadi luka bakar pada tangan kanan bagian lengan bawah dikarenakan
infus. Tetapi Farid Muluk mantan Menteri Kesehatan, mengatakan, “... tetapi
tidak lantas meminta catatan dokter mengenai dirinya”. Lalu Hukum mengatakan dalam
Permenkes No.749A/Menkes/per/XII/1989. Bab III Pasal 10 (1), “Berkas rekam
medis milik sarana pelayanan,” sedangkn di (2) “isi rekam medis milik pasien.”
Kalau kita perhatikan, “tidak lantas meminta” itu bukan berarti tidak boleh
tapi masih dapat diperdebatkan. (Dr. Bahar Azwar, Sp B Onk. 2005: 31-33)
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ada banyak penyebab mengapa persoalan malapraktik medik
mencuat akhir-akhir ini dimasyarakat diantaranya pergeseran hubungan antara
tenaga medis dan pasien yang tadinya bersifat paternalistic tidak seimbangdan
berdasarkan kepercayaan (trust, fiduciary relationship) bergantidengan
pandangan masyarakat yang makin kritis serta kesadaranhukum yang makin tinggi.
Selain itu jumlah dokter di Indonesia dianggap belum seimbang dengan jumlah
pasien sehingga seorang tenaga medis menangani banyak pasien (berpraktik di
berbagai tempat) yang berakibat diagnosa menjadi tidak teliti.
Apresiasi masyarakat pada nilai kesehatan makin tinggi
sehingga dalam melakukan hubungan dengan dokter, pasien sangat berharap agar
dokter dapat memaksimalkan pelayanan medisnya untuk harapan hidup dan
kesembuhan penyakitnya. Selama ini masyarakat menilai banyak sekali kasus
dugaan Malpraktek medik yang
dilaporkan media massa atau korban tapi sangat sedikit jumlahnya yang diselesaikan
lewat jalur hukum.
Dari sudut
penegakan hukum sulitnya membawa kasus ini ke jalur pengadilan diantaranya
karena belum ada keseragaman paham diantara para penegak hukum sendiri soal
malpraktik medik ini.
Masih ada masyarakat (pasien) yang belum memahami
hak-haknya untuk dapat meloprkan dugaan malpraktik yang terjadi kepadanya baik
kepada penegak hukum atau melalui MKDKI (Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran
Indonesia). Oleh karenanya lembaga MKDKI sebagai suatu peradilan profesi dapat
ditingkatkan peranannya sehingga mendapat kepercayaan dari masyarakat sebagai
lembaga yang otonom, independent dan memperhatikan juga nasib korban. Bahkan
berkaitan dengan MKDKI ini SEMA RI tahun 1982 menyarankan agar untuk kasus
dugaan Malpraktek medik
sebaiknya diselesaikan dulu lewat peradilan profesi ini.
Dari sudut hukum acara (pembuktian) terkadang penegak
hukum kesulitan mencari keterangan ahli yang masih diliputi esprit de corps.
Mungkin sudah saatnya diperlukan juga saksi yang memahami ilmu hukum sekaligus
ilmu kesehatan.
Bahaya Malpraktek memang luar
biasa. Tidak hanya mengakibatkan kelumpuhan atau gangguan fatal organ tubuh,
tetapi juga menyebabkan kematian. Masalah yang ditimbulkan pun bisa sampai pada
masalah nama baik, baik pribadi bahkan negara, seperti yang dipaparkan waktu
penjelasan fenomena Malpraktek pada era
globalisasi tadi. Benar-benar kompleks sekali permasalahan yang timbul akibat
malapraktik ini. Sehingga benar bahwa malpraktek dikatakan sebagai sebuah
malapetaka bagi dunia kesehatan di Indonesia.
B. Saran
1.
Saran untuk para Dokter : Agar selalu bekerja atau melakukan praktik yang baik dan benar karena nyawa seseorang itu bergantung pada
keahlian dan ketelitian tim medis yang menanganinya, dan sebaiknya tim medis mengingat
sumpah yang diucapkannya bahwa tidak akan membeda-bedakan pasien dari segi
manapun serta harus bekerja sesuai dengan hakekatnya dan para Dokter wajib
mengetahui hukum dari Malpraktek kedokteran agar tidak
akan pernah melakukan kesalahan yang disengaja maupun yang tidak disengaja.
2.
Saran untuk Penulis : Agar selalu memberikan berita terlengkap tentang Hukum
Malpraktik supaya masyarakat luas dapat
mengetahui tentang Hukum dari Malpraktik dan tidak akan melakukan hal semacam
Malpraktik tersebut, serta selalu berhati-hati akan terjadinya Malpraktik.
3. Dan
saran untuk masyarakat luas : Sebaiknya masyarakat mengetahui tentang hukum Malpraktik dan
mengetahui pengertian Malpraktik itu sendiri, untuk mencegah terjadinya
Malpraktik Kedokteran dan masyarakat harus berhati-hati pada
saat akan mempercayakan keluarganya kepada tim medis, masyarakat harus mengetahui
keahlihan dan ketelitian dari tim medis tersebut, setelah itu masyarakat dapat
mempercayakan keluarganya kepada tim medis, untuk dilakukan pemeriksaan.
DAFTAR PUSTAKA
Wiradharma D. 2008. Etika Profesi Medis. Jakarta:
Universitas Trisakti.
Aj, OS. 1991. Profesi Dokter. Jakarta:
Erlangga.
Siswoyo. 2010. Masalah Malpraktek dan Kelalaian Medik dalam Pelayanan Kesehatan.
Sampurna A. 2012 Dasar Etik dan Moral Profesi Kedokteran.
<http://www.freewebs.com/komitemedik/etikdanmoral.html>. (05 Januari 2012).
Jacobalis, Samsi. 2005. Perkembangan
Ilmu Kedokteran, etika Medis, dan Bioetika. Jakarta: CV. Sagung Seto.
Dr. Azwar Bahar, Sp B Onk. 2005. Terhindar
dari Malapraktik. Depok: PT Kawan Pustaka.
Prof. R. Subekti, S.H, R.Tjitrosudibio, S.H. 1992. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Jakarta :PT. Pradnya Paramita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar